REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar terhadap dolar AS dianggap sebagai risiko terbesar bagi Indonesia ke depan. Kurs rupiah terhadap dolar AS diproyeksikan berada di kisaran Rp 14.500 - Rp 14.800 pada akhir tahun 2015.
Direktur Eksekutif Mandiri Institute, Destry Damayanti, mengatakan proyeksi nilai tukar tersebut mempertimbangkan kalau Cina kembali melakukan devaluasi yuan, kebutuhan dolar untuk pembayaran utang luar negeri serta masih adanya ketidakpercayaan pasar.
Dalam tiga sampai empat bulan ini permintaan dolar diperkirakan tinggi terutama untuk membayar utang akhir tahun. "Salah satu risiko ke depan itu currency, Cina setiap saat bisa mendevaluasi yuan satu atau dua persen dan bisa men-triger macam-macam, kawasan regional pasti ikut, karena produksinya sama, manufaktur, mau tidak mau Indonesia ikut," ujar Destry dalam media briefing di Plaza Mandiri Jakarta, Senin (21/9).
Destry menjelaskan, yang dihadapi Indonesia sekarang dengan 2008-2009 jauh beda. Situasi saat ini lebih kompleks. Pada 2008 likuiditas global masih banyak, AS dan Eropa mau melakukan quantitative easing (QE) dan menurunkan suku bunga. Saat itu juga terjadi booming komoditi, leverage-nya masih tinggi. Implikasi buat Indoneisa saat itu relatif ringan, pertumbuhan ekonomi bisa 4,5 persen.
Kondisi sekarang dinilai berbeda, karena terjadi normalisasi kebijakan moneter, tapering off diberlakukan sejak 2012. Dari sisi likuditas Indonesia tidak bisa berharap banyak, harga komoditas juga masih melemah. Permintaan global melemah, kondisi global tidak menentu, dan ekonomi Cina melemah. Pada 2008 pertumbuhan Cina masih dobel digit sehingga ada permintaan ke Indonesia.
"Cina masih bisa melemahkan currency karena yuan masih overvallued, kalau ekonominya belum recover pasti akan mendorong ekspor. Sehingga AS akan menunda kenaikan fed fund rate," kata Destry.
Menurut dia, yang perlu didorong adalah daya beli masyarakat. Salah satunya dengan menambah jumlah keluarga penerima bantuan langsung tunai (BLT) yang saat ini ada 15,5 juta keluarga. Dengan total anggaran, sekitar Rp 19 triliun. Kalau kuota dinaikkan menjadi 31 juta keluarga, totalnya bisa 120 jiwa dengan asumsi 1 keluarga 4 orang, artinya itu sudah hampir setengah penduduk Indonesia. Meskipun tidak produktif, hal itu bisa mendorong belanja masyarakat.