Jumat 18 Sep 2015 10:09 WIB

Rupiah Loyo, Pemerintah Disebut tak Boleh Lagi Beralasan Faktor Global

Rep: C03/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Mahasiswa yang tergabung dalam BEM Nusantara menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, Kamis (17/9).Republika/Edwin Dwi Putranto
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Mahasiswa yang tergabung dalam BEM Nusantara menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, Kamis (17/9).Republika/Edwin Dwi Putranto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika masih loyo. Meski pun pada Kamis (17/9) siang mengalami penguatan 0,14 persen atau di level Rp 14.438 per dolar AS dibanding dengan penutupan kemarin di level Rp 14.459 per dolar AS, Namun ini masih rendah dari penutupan Selasa (15/9) yakni Rp 14.408 per dolar AS.

Kendati demikian, anjloknya nilai tukar rupiah ini dinilai bukan sebuah fenomena baru. “Hari ini mengalami pelemahan 41,42 persen dari 2011. Rupiah kan melemah terus sejak 3 Agustus 2011, sehari sebelumnya itu sempat terkuat di lever 8260 per dolar AS, jadi bukan fenomena baru. Tapi yang menarik saat ini pemerintah tak seperti kemarin, sekarang lebih diam,” tutur pengamat ekonomi Faisal Basri di Jakarta, Rabu (16/9) malam.

Menurutnya saat ini pemerintah tak bisa lagi beralasan menurunnya rupiah juga dialami negara lain seperti Srilanka. Sebab saat ini negara-negara yang tadinya nilai mata uangnya lemah justru perlahan menguat.

Meski demikian melihat kondisi yang terjadi kata Faisal pemerintah perlu mengambil langkah cepat.  Tindakan tersebut kata dia dengan upaya total membujuk kembali investor dan pengusaha asing agar kembali menanamkan modalnya.

Ini dapat terjadi dengan jalan memberikan stimulus melalui intensif pajak dan kebijakan lain yang membuat investor tertarik menanamkan modalnya lagi. “Indonesia itu atraktif buat asing, asing datang ke Indonesia bawa untung, lalu untungnya di bawa pulang, untung yang mereka bawa pulang itu sekitar 18 miliar dolar, rayu lagi asingnya, minta agar mau investasikan separuhnya saja, kasih insentifnya lewat pajak dan lainnya,” tuturnya.

Selain itu menghadapi pasar ekspor-impor dengan Cina, pemerintah pun diharapkan segera membuat perjanjian bilateral  terkait penggunaan mata uang lokal. Terlebih mengingat impor Indonesia dari Cina jauh lebih besar dari ekspor. ”Volumenya perdagangan Indonesia-Cina kan besar, Impor kita juga lebih besar, kalau selama ini kita kan dagang pakai dolar, segera ada perjanjian bilateral kalau ekspor-impor dengan Cina itu pakai mata uang lokal,” pungkasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement