REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar kembali mengalami depresiasi menjelang rapat dewan gubernur Bank Sentral AS pada pertengahan September ini.
Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan M Doddy Ariefianto mengatakan, nilai tukar mengalami depresiasi karena spekulasi di pasar the Fed yang akan menunda lagi kenaikan Fed Fund Rate (FFR).
Padahal, dua bulan lalu sebelum Cina melakukan kebijakan devaluasi yuan, probabilitas kenaikan FFR cukup tinggi di level 60-70 persen, sekarang tinggal 25 persen.
Dia memperkirakan pada rapat FOMC September the Fed akan menunda kenaikan FFR dan hanya akan menaikkan satu kali paling cepat pada akhir tahun ini. Dengan pertimbangan, the Fed harus menjaga dampak dari devaluasi yuan karena kekhawatiran dolar semakin menguat.
Doddy menyebutkan ada tiga faktor yang diperhatiakn the Fed dalam mengubah kebijakan moneter. Pertama data ketenagakerjaan, yang sampai hari ini statistiknya solid. Kedua inflasi yang juga tidak ada masalah bahkan cenderung turun, karena harga minyak masih turun. Terakhir, posisi mata uang dolar AS yang sudah mengalami apresiasi lagi.
"The Fed khawatir kalau apreasiasi, barang ekspor AS tidak kompetitif, sementara di sisi lain mungkin masyarakat lihat barang impor lebih menarik. Jadi kalau orang pada impor akan memukul industri dalam negeri. Inilah yang dikhawatirkan the Fed," terangnya.
Salah satu sumber pelemahan mata uang negara emerging, lanjutnya, yakni kemana arah Fed setelah menaikkan FFR. Hal itu yang tengah dianalisa dan diantisipasi pasar. Semakin the Fed menunda semakin membuat ketidakpastian sehingga orang memilih untuk pegang dolar.
"Gara-gara uncertaintly ini yang menyebabkan nilai tukar rupiah melemah," jelasnya saat dihubungi Republika, Selasa (8/9).
Terkait potensi penguatan nilai tukar negara emerging, masih tergantung dari rilis FOMC. Dalam jangka panjang orang masih akan melihat respons Fed tergantung Cina, sementara Cina juga tergantung the Fed. Untuk membuat kepercayaan pasar, Fed harus mempunyai target jelas kenaikan FFR pada 2016 dan 2017.
Nilai normal suku bunga acuan AS di kisaran 3,5-4,5 persen. Dia masih melihat potensi carry over masalah di 2016. Namun, dia masih berharap prospek rupiah lebih stabil di akhir 2015. Optimisme masih akan tetap ada jika kebijakan Cina menenangkan pasar dan FFR segera naik. Serta ada arahnya yang jelas setelah kenaikan FFR.
Nilai tukar rupiah berdasarkan Bloomberg Dollar Index kembali melemah pada penutupan Selasa (8/9) di level Rp 14.280 per dolar AS, dibandingkan penutupan Senin (7/9) di level Rp 14.266, melemah 0,10 persen atau 14 poin.
Sedangkan menurut kurs tengah Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia rupiah juga melemah di level Rp 14.285 pada Selasa dibandingkan Senin di level Rp 14.234 per dolar AS.