Senin 07 Sep 2015 16:37 WIB

BI: Rupiah Seharusnya Rp 13 Ribu per Dolar

Rep: Eko Widiyatno/ Red: Teguh Firmansyah
 Transaksi penukaran Rupiah terhadap mata uang asing di salah satu tempat penukaran uang, Jakarta, Kamis (23/7).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Transaksi penukaran Rupiah terhadap mata uang asing di salah satu tempat penukaran uang, Jakarta, Kamis (23/7).

REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Dibandingkan dengan fundamental ekonomi Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dipastikan sudah dibawah nilai seharusnya atau under value. Hal itu ditegaskan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Hendar, usai melantik Kepala Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto, di Purwokerto, Senin (7/9).

"Nilai tukar Rp 14 ribu per dolas AS itu sudah under value. Idealnya, sesuai dengan kondisi fundamental ekonomi kita, nilai rupiah mestinya rata-rata sekitar Rp 13 ribu per dolar. Sesuai dengan asumsi ekonomi makro kita yang tertuang dalam APBN 2015," jelasnya.

Meski demikian Handar menyebutkan, penurunan nilai tukar mata uang yang dialami Indonesia masih belum sedalam beberapa lain yang sebelumnya masuk dalam negara-negara new emerging. Di antaranya, seperti Turki, penurunan nilai tukar mata uang mencapai 25 persen, Brazil 35 persen, dan Malaysia 20 persen. "Hingga saat ini, penurunan nilai tukar rupiah masih 12 persen," katanya.

Untuk mengatasi kemungkinan makin dalamnya penurunan nilai tukar rupiah, dia menyebutkan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti dalam hal kepemilikan asing dalam surat-surat berharga RI. Kepemilikan asing dalam obligasi pemerintah, disebutkan Hendar mencapai 37-38 persen dari total nilai sebesar Rp 1.400 triliun.

"Kondisi ini harus dijaga dengan penuh kehati-hatian. Terutama dengan menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang menambah sentimen negatif," jelasnya.

Selain itu, tingginya ketergantungan RI pada ekspor komoditas juga menyebabkan tekanan ekternal yang dihadapi Indonesia makin berat. Pelemahan ekonomi global menyebabkan harga-harga komoditas primer seperti minyak, batubara, karet, minyak sawit dan nikel, menjadi anjlok. Pada akhirnya, nilai ekspor juga terus mengalami penurunan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement