Ahad 06 Sep 2015 19:09 WIB

Daripada Swasta, Utang Luar Negeri Pemerintah Lebih Mengkhawatirkan

Rep: Risa Herdahita/ Red: Esthi Maharani
Demo menolak utang luar negeri, ilustrasi
Foto: Antara
Demo menolak utang luar negeri, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Utang Luar Negeri (ULN) sektor swasta dianggap masih dalam taraf aman untuk saat ini. Meski nilainya lebih besar, ULN dari sektor pemerintah justru yang harus dikhawatirkan.

"Nggak ada masalah, swasta punya jaminan, masih dalam taraf aman, kalau saya tidak khawatir soal utang swasta," ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi B. Sukamdani, Ahad (6/9).

Ia menyatakan pengusaha saat ini sudah bergerak dengan cukup hati-hati. Mulai dari perencanaan, manajemen risiko sampai pengelolaan.

"Justru swasta sekarang lebih berkualitas," tambahnya.

Meski begitu, ia pun mengakui tidak semua ULN perusahaan swasta bisa dikategorikan aman. Dari yang ada saat ini, masih terdapat perusahaan swasta yang melakukan pinjaman tanpa jaminan.

"Ini yang repot kalau tidak ada jaminannya. Biasanya ini perusahaan yang punya hubungan internal, seperti antara anak perusahaan dan induk perusahaan di luar negeri," jelas Hariyadi.

Sementara dari sisi ULN di sektor pemerintah, ia menilai pengelolaannya justru semakin buruk dibandingkan saat Orde Baru. Ia tidak mempermasalahkan jika Indonesia mengambil dana pinjaman dari negara lain. Hanya saja yang terjadi belakangan ini dana pinjaman itu lebih digunakan untuk membiayai hal-hal yang tidak produktif.

Risikonya, kata dia, melihat keadaan ekonomi Indonesia saat ini dengan ULN yang tidak terkelola dengan baik dampaknya justru akan lebih dirasakan oleh masyarakat. Apa yang paling mungkin terjadi adalah jumlah pengangguran yang akan semakin meningkat.

Hariyadi pun menambahkan, pinjaman ke luar negeri tidak bisa dihindari. Apalagi, ia melihat pemerintahan saat ini dinilai sudah mulai selektif dan konsisten pada prioritas pendanaan yang dibutuhkan.

"Dengan penerimaan pajak yang semakin turun, mau tidak mau ngutang lagi, itu boleh, tapi harus dikelola menuju hal produktif seperti infrastruktur, misalnya listrik, atau pengembangan inovatif, misalnya energi alternaif," terangnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement