REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembangunan sekat kanal dinilai menjadi salah satu upaya meminimalisir potensi kebakaran hutan dan lahan. Kementerian Lingukungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hingga saat ini telah membangun 66 unit sekat kanal. Selanjutnya, sebanyak 103 unit tengah masuk tahap verifikasi dokumen untuk kemudian dibangun.
"Pemerintah Daerah juga kita dorong untuk membangun, kalau yang diusulkan itu, pembangunan di daerah sebanyak 639 unit," kata Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Raffles B. Panjaitan pada Jumat (4/9).
Namun realisasi pembangunan tak bisa segera karena Pemda belum siap. Inilah yang akan terus didorong agar pencegahan kebakaran semakin baik.
Pembangunan sekat kanal, lanjut dia, misalnya dilakukan di Sepahat, Rokan Hilir, Bengkalis dan Siak bekerja sama dengan United Nationa Development Programme (UNDP). Kerja sama juga melibatkan Pusat Bencana Universitas Riau di bawah pimpinan Doktor Haris. "Kampus membantu kita berkoordinasi dengan masyarakat," katanya.
Terpisah, Direktur Eksekutif Nasional Walhi Abetnego Tarigan menilai pemerintah gagal mewujudkan Indonesia Bebas Asap 2015. Padahal, itu merupakan target pemerintahan Joko Widodo di awal kepemimpinannya.
Ia pun memaparkan lima gugatan untuk pemerintah. Pertama yakni pemerintah pusat menginstruksikan kepala daerah, gubernur dan bupati agar melakukan gerakan serentak penyekatan kanal dan penerapam proses sangsi terhadap pemegang konsesi sawit. "Ini mendesak dilakukan kepala daerah," kata dia.
Selanjutnya, pemerintah didesak melakukan upaya penegakkan hukum terhadap perusahaan yang ditemukan ada titik api di wilayah konsesinya. Pemerintah juga mesti serius melakukan review perizinan terhadap konsesi yang mengalami kebakaran atau yang mengalami konflik dengan masyarakat.
Sembari melakukan review, lanjut dia, harus dilakukan penghentian penerbitan izin baru sebagai kesempatan untuk evaluasi terhadap izin yang diberikan. Harus pula dilakukan evaluasi terhadap pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap izin yang telah dikeluarkan.
Pemerintah juga didesak untuk mengembalikan fungsi hidrologis air. Khususnya pada ekosistem gambut, itu dilakukan dengan menginstruksikan perusahaan pemilik konsesi agar menaikkan permukaan air tanah minimal 40 cm dari permukaan tanah.
"Biaya penanggulangan kebakaran di dalam konsesi dan kerugian lingkungan dibebankan kepada perusahaan," tuturnya.
Analisis Walhi, titik api di wilayah perusahaan marak karena kebanyakan perusahaan di wilayah konsesi berperilaku buruk. Dampaknya, terjadi penurunan permukaan air tanah pada kawasan gambut akibat metode kanalisasi perkebunan monokultur.
Praktik penghematan biaya pembukaan lahan dan siasat untuk meloloskan pelepasan kawasan hutan memperparah keadaan. Peningkatan signifikan kebakaran pada 2012 misalnya, dipengaruhi peningkatan penerbiyan izin pada 2009-2011. Itu terjadi pada saat kanalisasi dan land clearing mulai dilakukan.