REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menyatakan industri hasil tembakau (IHT) nasional akan tertekan akibat rencana pemerintah menaikan cukai pada tahun depan sebesar 23 persen. Upaya pemerintah dengan menaikkan target cukai secara eksesif menjadi 148,9 triliun rupiah pada 2016 atau mengalami kenaikan sebesar 23 persen akan membuat sektor ini semakin terpuruk.
“Kami sebagai representasi masyarakat tembakau menolak keputusan ini. Selama ini, industri tembakau merupakan sumber utama penerimaan cukai negara dan termasuk sektor industri padat karya, tetapi pemerintah terkesan mengesampingkan kelangsungan industri tembakau nasional yang menjadi tumpuan mata pencaharian jutaan orang dan kenaikan target cukai tahun 2016 adalah 23 persen, bukan 7 persen seperti pernyataan pemerintah,” kata Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Budidoyo dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (1/9).
Budidoyo menilai, kenaikan cukai 23 persen tersebut adalah upaya yang disengaja untuk membunuh sektor IHT nasional. “Dengan kenaikan cukai rata-rata 7 hingga 9 persen setiap tahun, industri tembakau sulit untuk berkembang. Kenaikan cukai yang eksesif akan mendorong peredaran rokok ilegal di Indonesia,” papar dia.
Jika rokok ilegal makin merajalela, lanjut Budidoyo, semua pihak akan dirugikan termasuk pabrikan rokok legal, para pekerjanya, serta para petani tembakau dan cengkeh. “Pemerintah juga akan dirugikan karena rokok ilegal tidak bayar cukai,” ujar Budidoyo.
Budidoyo menyatakan, semakin mahalnya harga rokok legal disebabkan pembayaran cukai yang tinggi. “Tidak semua orang memiliki kemampuan finansial yang mumpuni. Jika tidak mampu membeli rokok legal yang harganya mahal karena cukainya yang tinggi, konsumen akan menyiasatinya dengan membeli rokok murah yang ilegal dan tidak bayar cukai,” terang Budidoyo.
Berdasarkan data AMTI, Peredaran rokok ilegal pada tahun 2014 mencapai 8 persen dari total produksi rokok nasional atau setara dengan 26,4 M batang.
Selain itu dampak yang sangat terasa bagi industri tembakau ialah penurunan volume produksi rokok akibat kenaikan tarif yang berlebihan. Imbasnya dirasakan langsung pada pendapatan petani tembakau dan cengkeh yang bergantung pada keberlangsungan industri hasil tembakau.
Bukan hanya bagi petani saja, pelaku lain dalam industri pun akan terkena imbasnya. Penerapan kebijakan ini dapat menambahkan jumlah perusahaan yang gulung tikar dan pemutusan hubungan kerja bagi para pekerja industri tembakau.
Menurut data yang dilansir Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, pada tahun 2014 jumlah pabrikan produsen tembakau sudah menurun dari 4.000 menjadi 995. Pada tahun yang sama, sekitar 20.000 pekerja pun mengalami pemutusan hubungan kerja baik di perusahaan tembakau besar maupun kecil
“Jika bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, pemerintah harus lebih bijak dalam menentukan kebijakan dan industri diberi ruang untuk berkembang, bukan diperas habis-habisan seperti ini. Apabila hal ini terjadi terus-menerus, industri tembakau nantinya akan mati dan berhentinya kontribusi terhadap negara dalam bentuk penerimaan cukai serta hilangnya lapangan pekerjaan padat karya,” tutur Budidoyo.