REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi kejatuhan rupiah mengancam keberlangsungan masa depan pekerja pabrik (buruh) di Tanah Air.
Pasalnya kebanyakan pabrik di Indonesia, baik itu padat karya atau padat modal, menggunakan bahan baku dari impor dimana pembayarannya menggunakan dolar AS. Namun ketika berubah menjadi barang jadi, produk tersebut diperjualbelikan di pasar domestik dengan menggunakan rupiah.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan kondisi tersebut jelas merugikan perusahaan mengingat kurs rupiah yang terus melemah terhadap dolar AS. “Lalu apa yang dilakukan perusahaan? Tidak lain mem-PHK karyawannya,” ucapnya saat dihubungi ROL, Rabu (26/8).
Industri padat karya yang terpukul telak antara lain perusahaan makanan, minuman, tekstil, dan garmen. Iqbal mengatakan banyak perusahaan garmen yang kesulitan membeli benang hasil impor dari Australia. Alhasil untuk mengurangi beban pengeluaran, banyak perusahaan garmen yang telah mem-PHK karyawannya.
Jumlahnya pun, kata Iqbal, mencapai puluhan ribu. “Ada 13 perusahaan diantaranya di Bekasi, Semarang, Demak, dan Mojokerto yang melakukannya,” ujarnya.
Kelesuan juga dialami industri padat modal bahkan dirasakan sebelum Lebaran. “Terjadi penurunan impor mobil, truk, bus, televisi, dan radio,” ucap Iqbal.
Sebelum Lebaran, perusahaan mulai merumahkan karyawan, bahkan ada yang mengurangi jam kerja mulai dari lima hari sepekan menjadi tiga hari sepekan. Usai Lebaran, kondisi tidak makin membaik. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS makin memburuk dan ekonomi pun melambat.
Biasanya, karyawan kontrak yang masa kerjanya sudah habis akan diperpanjang lagi pasca Lebaran. Namun ternyata tidak ada pemanggilan untuk mereka bekerja kembali. “Ini terjadi di Bekasi, Pasuruan, dan Purwakarta terutama di industri elektronik dan otomotif,” kata dia.