REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga sayur mayur di sejumlah daerah dilaporkan mulai merangkak naik, menyusul naiknya harga komoditas lainnya seperti daging sapi pada awal Agustus ini. Meski demikian, pemerintah membantah apabila mahalnya harga sayur akibat kemarau panjang.
Direktur Jenderal Holtikultura Kementerian Pertanian Spudnik Sujono mengungkapkan, justru ada beberapa komoditas pertanian yang stok berlebih namun harga tidak juga turun, seperti tomat. Kondisi ini memberikan petunjuk adanya oknum yang memanfaatkan isu kemarau untuk mengendalikan harga.
"Bahasa saya anomali saja. Karena banyak yang dipengaruhi rantai tata niaganya. Jangan orang semua kemudian semacam, diawali daging sapi semua merembet. Karena produk pertanian tentu dikuasai pengumpul dan pedagang besar," jelas Spudnik, Ahad (23/8).
Spudnik menilai, dari segi stok sayur mayur, sangat mencukupi sehingga tidak wajar bila kenaikan harga karena kekeringan. Sebab, tahun-tahun sebelumya meski kemarau terjadi, harga tetap normal.
"Kalau dihubungkan dengan kemarau, kalau kemarau kan dari tahun ke tahun kan ada kemarau. Ya memang akhirnya itu jadi satu justifikasi. Kalau kita sadari, bukan kali ini saja. Kenapa tahun ini jadi heboh," katanya lagi.
Ke depan, lanjut Spudnik, sebagai bentuk antisipasi terjadinya kesulitan tanam kakinya kekeringan, Kementan akan meningkatkan pembangunan embung atau cekungan penampung air hujan. Program ini akan digalakkan pada 2016 nanti dan akan dipusatkan pada sentra-sentra pertanian.
"Sehingga air saat musim hujan tidak terbuang ke laut. Air disimpan ke embung dan bisa dimanfaatkan kemarau," katanya.