Sabtu 22 Aug 2015 11:52 WIB

Pertamina: Penyesuaian Harga Elpiji 12 Kilogram Baik untuk Kompetisi

Rep: Qommaria Rostanti/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Elpiji
Foto: Republika/Prayogi
Elpiji

REPUBLIKA.CO.ID,‎ JAKARTA -- PT Pertamina (Persero) mengharapkan penyesuaian harga LPG non subsidi, termasuk elpiji 12 kilogram. Pasalnya harga elpiji 12 kilogram saat ini telah mencapai keekonomian yang dapat mengundang hadirnya kompetitor yang bisa menciptakan bisnis LPG lebih sehat di masa mendatang.

Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Wianda Pusponegoro mengatakan sebelum 2015, Pertamina mengalami kerugian dalam memasarkan elpiji 12 kilogram hingga Rp5,7 triliun per tahun pada 2013 dan Rp 4,3 triliun per tahun pada 2014.

"Dengan penyesuaian harga epliji 12 kilogram sesuai market price saat ini, di tahun 2015 Pertamina mulai mendapatkan laba," ujarnya dalam siaran pers yang diterima ROL.

Di sisi lain, elpiji 12 kilogram merupakan produk non subsidi, dimana sesuai Permen ESDM No 26 tahun 2009 pasal 25 dinyatakan bahwa harga jualnya ditetapkan oleh Badan Usaha dengan berpedoman pada harga patokan LPG (CP Aramco), kemampuan daya beli konsumen dalam negeri serta kesinambungan penyediaan dan pendistribusian. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa penetapan harga jual LPG dimaksud wajib dilaporkan kepada Menteri ESDM.

Di awal 2015, Pertamina mulai dapat menyesuaikan harga elpiji 12 kilogram sesuai market price, dan penyesuaian harga dilakukan setiap bulan hingga bulan April 2015 mengikuti fluktuasi harga bahan baku LPG (CP Aramco) dan kurs dolar AS. Dalam pelaksanaan penyesuaian harga tersebut, Pertamina berpedoman pada Permen ESDM No. 26 tahun 2009 pasal 25 tersebut di atas, serta penyesuaian harga selalu dilaporkan kepada Menteri ESDM serta kementerian terkait lainnya.

Namun berdasarkan evaluasi pelaksanaannya, pola penyesuaian harga bulanan seperti ini menimbulkan gejolak harga di masyarakat dan jalur distribusi.

 "Di saat harga turun, masyarakat kurang merasakan dampaknya, dan jalur distribusi mengalami kerugian akibat sudah menebus harga tinggi dan menjual dengan harga yang lebih rendah," kata Wianda. Sementara di saat harga naik, sektor usaha yang terkait LPG serta konsumen rumah tangga paling merasakan dampaknya, yang pada akhirnya mendorong inflasi yang cukup tinggi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement