REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengadaan lahan dan mesin-mesin berkualitas rendah masih menjadi kendala dalam pengadaan pembangkit listrik berdaya 35 ribu Mega Watt. Meski begitu, pemerintah diminta jangan menyerah apalagi sampai menganggap bahwa program ini mustahil dijalankan.
"Kalau menyerah, kita akan ketinggalan dengan negara tetangga. Pemerintah harus cari solusi," ucap Anggota Komisi VII DPR RI Kurtubi kepada ROL, Kamis (20/8).
Politisi dari Partai NasDem ini berharap program ini tidak sama dengan program pengadaan listrik 10 ribu Mega Watt yang banyak sekali hambatannya. Dia meminta pemerintah nantinya tidak menggunakan mesin dari Tiongkok yang berkualitas rendah dalam membangun pembangkit listrik tersebut.
Kurtubi menduga hambatan-hambatan ini yang mungkin menjadi alasan Menko Kemaritiman Rizal Ramli seolah meragukan keberhasilan program. "Internal pemerintah yang tidak satu bahasa akan membawa dampak negatif bagi investasi ke Indonesia," ujarnya.
Hal tersebut diamini oleh pengamat ekonomi dari Institute of Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto.
Menurut dia, situasi politik sangat berpengaruh pada iklim perekonomian Tanah Air. Lembaga eksekutif harus memiliki satu visi dan pandangan terhadap arah yang dituju. "Lembaga eksekutif harus lebih solid ke dalam," ucapnya.
Pemerintah sebaiknya jangan malah menampakkan ketidaksolidan yang akhirnya bisa menimbulkan terjadinya kontraproduktif terhadap target ekonomi.
Ketidaksamaan dalam visi eksekutif dapat membuat legislator tidakpercaya bahwa mereka bisa memberikan jalan dan ide-ide terharap permasalahan yang sedang dihadapi negara. "Kalau DPR yang mengkritisi eksekutif tidak apa-apa, ini justru penting sebagai penyeimbang, tapi kritiknya juga harus yang produktif," ujar Eko.
Mengkritisi kebijakan pemerintah tidak dilarang selama memiliki argumentasi tepat. Eko melihat situasi politik saat ini lebih stabil dibanding tiga bulan pertama sejak Kabinet Kerja dibentuk. "Sekarang hubungan eksekutif dan legislatif lebih adem," kata dia.