Rabu 19 Aug 2015 20:23 WIB

Opsi Buyback Saham Bagai Pedang Bermata Dua

Rep: Risa Herdahita Putri/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Layar elektronik menunjukkan pergerakkan harga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di kantor Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (12/8).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Layar elektronik menunjukkan pergerakkan harga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di kantor Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (12/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan hari ini, Rabu (19/8) kembali dibuka melemah. Setelah kemarin ditutup anjlok 1,63 persen, pagi ini IHSG diawali dengan penurunan sejauh 0,18 persen ke level 4.502,2.

IHSG sejauh ini memang mengalami penurunan signifikan. Selama sepekan lalu IHSG sudah terkoreksi 3,9 persen.

Melihat kondisi ini, Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listyanto merasa sudah saatnya ada langkah antisipasi dan strategi dari otoritas di pasar modal. Menurutnya, itu baik untuk merubah regulasi atau merubah sentimen pasar.

"Kemarin saat reshuffle kabinet juga momentumnya bersamaan dengan devaluasi Yuan, eksternal ini lebih mempengaruhi kinerja bursa," katanya ketika dihubungi, Rabu (19/8).

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun mulai menanggapi pelemahan IHSG ini. Meski belum akan melakukannya, OJK baru-baru ini menyatakan sedang meninjau opsi buyback saham tanpa RUPS untuk menstimulasi pergerakan indeks saham.

Menanggapi ini, menurutnya sepanjang untuk mendongkrak kembali laju indeks saham hal ini bisa dilakukan. Pasalnya, ia melihat isu internasional terlalu kencang. Sementara jika tidak ada tanggapan dari pemegang kendali dalam negeri, isu global itu akan semakin menggerogoti.

Ia pun menilai sentimen positif pasar bisa terangkat salah satunya dengan menetapkan regulasi. "Di dalam negeri ini perlu juga menahan. Pelaku asing cukup besar. Sementara dinamika internasional lebih bekerja dan kita hanya mengikuti," lanjut Eko.

Meski begitu, menurut dia, jika untuk tujuan ini hanya OJK saja yang bekerja, maka tidak akan efektif. OJK di sini hanya mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan kewenangannya.

"Dan ini harus diikuti oleh kebijakan bidang lain," tambahnya.

Sementara, jika pada akhirnya OJK harus melakukan kebijakan ini, menurut Eko mereka tetap harus memperhatikan masukan dari para pemegang saham. Kebijakan ini diakui memang berdampak dua sisi, negatif dan positif.

Kemungkinan ada ketidakrelaan dari pemegang saham, menurutnya menjadi tantangan di sini. "Secara inovasi regulasi untuk perbaikan kinerja sih oke, tapi perlu mendengar respon dr pemegang saham, agar kebijakan ini bisa diterima," paparnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement