REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat sebagai pasar modal berkinerja paling buruk di dunia selama year to date (ytd), yaitu minus 13,71 persen. Sementara selama month to date (mtd) penurunannya sejauh 6,08 persen atau nomer tiga yang terburuk.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun mengakui penurunan IHSG saat ini termasuk tinggi. Dalam hal ini, OJK menyampaikan pihaknya sedang memikirkan pilihan untuk memberlakukan kebijakan buyback (pembelian kembali) saham tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Nurhaida menyatakan andai saja buyback tanpa RUPS ini dilakukan, itu lebih karena stimulus. Stimulus ini, kata dia, dilakukan terhadap pergerakan IHSG dan kondisi sekarang.
"Jadi bukan karena kondisi krisis, tapi agar ekonomi kita bisa begerak ke arah positif," katanya di sela-sela seminar di Hotel Borobudur, Selasa (18/8).
Ia menjelaskan, kebijakan buyback tanpa RUPS sebelumnya pernah dilakukan pada tahun 2013. Saat itu OJK menerbitkan surat edaran karena IHSG anjlok dalam waktu tiga bulan sejauh 23 persen.
Menurutnya ada dua parameter yang akhirnya membuat OJK menerbitkan kebijakan ini. Pertama, kondisi ini memungkinkan melihat IHSG turun 15 persen dalam tiga hari. Kedua, ada kondisi lain yang ditentukan berdasarkan pertimbangan OJK.
"Nah dibuat surat edaran bukan karena butir A, tapi butir B, nah OJK menentukan kondisi lain itu," papar Nurhaida.
Selanjutnya, surat edaran itu pun sudah dicabut melihat kondisi yang akhirnya sudah membaik. Artinya, Nurhaida melajutkan, kondisi lain yang ditentukan oleh OJK itu sudah tidak berlaku.
"Nah seandainya besok kita lihat ini perlu kebijakan buyback tanpa RUPS, kita akan buat SE yang baru," tambah dia.
Untuk saat ini kondisi yang tengah berlangsung menunjukkan IHSG memang tengah menurun secara signifikan. Hanya saja, menurut Nurhaida penurunan ini pun harus dilihat sampai sejauh mana bisa dikategorikan kondisi lain yang membuat kebijakan ini dibutuhkan.
Nurhaida menerangkan, kondisi pada 2013 itu berbeda dengan saat ini. Dulu penurunan yang terjadi sangat drastis hingga bisa disebut sebagai krisis kecil.
"Kami sekarang nggak lihat itu karena penurunan terjadi di semua market. Luar juga, regional turun, hanya saja Indonesia termasuk yang tinggi dibanding negara lain," ungkapnya.
Ia pun sadar dengan adanya kebijakan ini berarti pihaknya telah menghilangkan hak pemegang saham. Namun, katanya, jika tujuannya untuk memperbaiki kondisi hal semacam ini bisa saja dilakukan.
"Makanya ini belum tenty berdampak positif, makanya kita juga hati-hati melihat antisipasi apa yang dilakukan jadi lebih banyak dampak positifnya dibanding negatif," tuturnya.
Untuk saat ini, soal kebijakan buyback tanpa RUPS belum diangkat dalam rapat di depan komisioner. Nurhaida menegaskan, surat edaran bukan menjadi target tapi antisipasi terhadap kondisi yang berkembang nantinya jika pihaknya merasa perlu memberikan stimulus.