Kamis 13 Aug 2015 18:27 WIB

Pasar Nilai Indonesia Telah Masuki Masa Resesi

Rep: C07/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Layar elektronik menunjukkan pergerakkan harga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di kantor Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (12/8).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Layar elektronik menunjukkan pergerakkan harga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di kantor Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (12/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Chief Economist IGIco Advisory, Martin Panggabean mengatakan bila dilihat dari pendekatan ekspektasi pasar dapat terlihat pelaku pasar finansial (pemodal) cenderung pesimis terhadap kinerja perekonomian Indonesia. Saat ini, kata Martin, ekonomi Indonesia sedang memasuki fase resesi.

Sementara ekonomi Amerika Serikat justru akan meninggalkan resesi, dan masuk ke fase normal. Dengan demikian penguatan dollar AS adalah konsekuensi yang wajar.

Fase pesimisme, lanjut Martin, sudah dimulai sejak Februari di mana pada saat kurs masih berada pada Rp 12.600 per dollar AS dan terus memburuk sejak itu. Jika pada awal tahun para pelaku pasar masih memperkirakan adanya depresiasi sebesar 5.5 persen sepanjang tahun 2015, kini para pelaku pasar memperkirakan bahwa depresiasi 12 bulan kedepan adalah sekitar 11 persen.

Dia menilai para pelaku pasar saat ini memperkirakan bahwa kurs pada akhir tahun 2015 akan berada pada kisaran Rp14.000 per dollar AS, sementara pada akhir tahun 2016 kurs sudah mendekati level Rp 15.000 per dollar AS.

Keputusan tiba-tiba The People's Bank of China yang mendevaluasi 1,9 persen langsung menohok pasar keuangan global, diperkirakan masih akan berlanjut. China secara bertahap akan melemahkan mata uangnya.

"Sama seperti dulu secara gradually mereka menguatkan mata uangnya. Kondisi ini yang akan membuat pasar sulit stabil dan unpredictable," jelas Martin dalam siaran pers yang diterima ROL, Kamis (13/8).

Sebelumnya Jepang  juga telah mengambil langkah kebijakan devaluasi untuk menumbuhkan ekspor dan ini terbilang sukses, bahkan tanpa kritik dari Amerika Serikat serta negara barat lainnya.

"Belum lagi IMF membatalkan rencana  memasukkan Yuan kedalam SDR (Special Drawing Rights). Momentum inilah yang digunakan China untuk melemahkan mata uangnya. Big Questions untuk kita adalah Berapa kali China akan melakukan devalusi mata uangnya," tegas Martin.

Perlu diketahui pergerakan nilai tukar rupiah diperkirakan akan berada pada kisaran Rp 13.650 sampai Rp 14.000 per dollar AS. Laju Rupiah masih fluktuatif dengan kecenderungan melemah karena adanya devaluasi yuan.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat disebabkan oleh sentimen pasar terhadap mata uang yuan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement