REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Andi Nurroni/Erik Purnama Putra
Suatu pagi sekitar tahun 2000, adalah momen yang tidak akan pernah dilupaan Peleh. Setengah putus asa, ia menenteng beberapa kantong kresek berisi lontong. Dari pelataran parkir, pemuda berusia 23 tahun ini menuju salah satu sudut Pasar Banyu Urip di Kota Surabaya.
Peleh sebenarnya tak pernah berniat menjadi penjual lontong. Penghasilannya menjual tahu tek, makanan tradisional khas Surabaya, dianggapnya masih lebih menjanjikan. Sayangnya, musibah kecil mengancam kehidupan dapur keluarganya.
Sebanyak 100 bungkus lontong yang telah dibuat Siti, tidak jadi diambil pelanggan karena si pemesan jatuh sakit. Padahal, 100 lontong itu dibuat dari lima kilogram beras. Biayanya tak sedikit untuk keluarga kecil mereka yang hidup prihatin. Pasangan suami istri warga kampung Banyu Urip Lor Gang X Surabaya ini akhirnya sepakat untuk menjajajakan lontong di pasar, seperti yang dilakukan beberapa tetangga mereka.
Karena ide tersebut penuh dengan pertaruhan, Peleh memutuskan untuk mengambil tanggung jawab itu, bukan istrinya. “Mudah-mudahan laku, ya Allah,” begitu doa pemuda kelahiran Lamongan ini di dalam hatinya, sebagaimana dituturkan kepada Republika Online belum lama ini. Di luar dugaan, lontong yang dibawa Peleh ke pasar habis diserbu pembeli dalam sekejap.
Setelah direnungi, kejadian pagi itu melambungkan angan-angannya. Apalagi di Surabaya, lontong memang menjadi bagian utama berbagai kuliner tradisional, seperti rujak cingur, lontong balap, satai hingga bakso. “Kenapa tidak aku menjual lontong? Mereka yang butuh lontong semakin banyak. Ini bisnis yang menjanjikan,” begitu gumaman dalam hatinya.
Sekitar 15 tahun berselang, intuisi Peleh terbukti tidak meleset. Sekarang, Peleh menjadi salah seorang pengusaha lontong sukses dari Kampung Banyu Urip Lor, Kelurahan Kupangkrajan, Kecamatan Sawahan, Surabaya. Kisah Peleh hanya lah salah satu contoh keberhasilan warga Banyu Urip Lor berbisnis lontong.
Menurut pria berbadan gempal ini, usaha lontong di kampung tersebut dimulai dari kiprah seorang ibu bernama Ramiah pada sejak tahun 1970. Nenek Ramiah, kata Peleh, menularkan kemahirannya membuat lontong kepada para tetangganya. Usaha lontong terus berkembang dari satu rumah ke rumah lain.
Berkah gas bumi
Pada 2012, peruntungan para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) industri rumahan pembuat lontong semakin bersinar. Itu terjadi setelah pemerintah, melalui Perusahaan Gas Negara (PGN), menyalurkan sambungan pipa gas bumi ke kampung tersebut.
Peleh tidak memungkiri, bisnisnya semakin lancar setelah mendapatkan pasokan gas PGN. Ia mengaku beruntung menjadi 100 pemasang pertama gas PGN di Kampung Lontong pada 2012 silam. Menurut Peleh, sewaktu waktu rencana awal pengaliran gas bumi ke Kampung Lontong, hanya sedikit saja pembuat lontong yang mau beralih dari gas melon ke gas pipa.
“Macam-macam alasannya. Ada yang takut soal keamanan, ada yang takut kualitas apinya enggak bagus. Ada juga yang mengundurkan diri habis daftar, takut bayarnya mahal. Ada juga (pembuat lontong) yang enggak bisa pasang karena rumahnya bukan milik sendiri.”
Berbagai kekhawatiran itu, menurut Peleh, sempat membuat rencana pengaliran gas ke kampung Banyu Urip Lor tertunda. Itu terjadi, karena PGN memberi syarat bahwa calon konsumen sentra UKM minimal harus berjumlah 100 pelanggan. Akhirnya, berkat perjuangan bersama warga bisa menikmati fasilitas gas bumi?
Semua kekhawatiran warga, menurut Peleh, kini terbantahkan. Dari segi keamanan, Peleh menyampaikan, sejak pemasangan pipa gas lebih dari dua tahun lalu hingga sekarang, tidak ada warga pemakai gas bumi PGN yang mengeluhkannya.
Soal biaya, ia bercerita, pada waktu itu PGN hanya membebankan biaya saluran gas di dalam rumah yang besarannya tak lebih dari beberapa ratus ribu saja. Peleh mengakui, pada awal pemasangan, aliran gas sempat tidak stabil. Kondisi tersebut memang hanya terjadi beberapa hari. Setelah dikonsultasikan dengan pihak PGN, Peleh bercerita, tekanan gas akan dinaikan secara bertahap mengingat banyak sambungan pipa baru.
Dia pun mengungkap, konversi gas tabung ke gas pipa berkontribusi signifikan terhadap pengembangan usaha industri rumahan lontong. Dari sisi ekonomi, ia menghitung, dengan menggunakan gas pipa, ia bisa menghemat Rp 400 hingga Rp 500 ribu per bulan.
Dia menggambarkan, untuk memasak lontong satu panci besar, sebelumnya dibutuhkan 1,5 tabung elpiji 3 kilogram. Sementara, Peleh menuturkan, dalam sekali produksi, ia memasak menggunakan empat panci besar, sehingga biaya yang dikeluarkan mencapai enam tabung elpiji 3 kg. Jika harga gas melon rata-rata Rp 16 ribu, pengeluarannya mengeluarkan biaya Rp 96 ribu per hari atau sekitar Rp 2,7 juta per bulan.
“Kalau pakai PGN, kita rata-rata bayar Rp 2 juta sampai Rp 2,2 juta. Jadi selisihnya Rp 500 hingga Rp 700 ribu,” ujar Peleh yang tengah bekerja ditemani istri, anak dan sejumlah saudaranya.
Keuntungan menggunakan gas pipa, menurut Peleh, tidak hanya dari segi ekonomi. Menurut dia, dengan memasang gas pipa, ia tidak perlu lagi repot mengangkut dan membongkar-pasang tabung elpiji. Karena tabung elpiji harus diganti kalau habis, Peleh bercerita, terkadang ada saja momen ketika tiba-tiba isi gas melon habis.
Dia atau istrinya pun harus direpotkan untuk menukar tabung gas ke toko terdekat kalau persediaan di rumah habis. “Kadang kita kecapaian, terus ketiduran. Ya jualannya jadi telat. Konsumen kecewa dan sering dikomplain,” kata lelaki yang kini berusia 38 tahun itu.
Dengan menggunakan gas pipa, menurut Peleh, kualitas lontong juga semakin baik. Itu terjadi karena aliran gas stabil. Sementara gas tabung, ia menjelaskan, terkadang bagus ketika awal, tapi semakin melempem menjelang akhir. Dari sisi keamanan, menurut dia, gas PGN lebih aman karena menggunakan pipa besi. “Sejauh ini belum saya tidak punya keluhan soal keamanan,” katanya.
Setelah 15 tahun merintis usaha lontong, Peleh menceritakan, kini, dalam sehari, rata-rata ia memproduksi sekitar 3 ribu lontong. Untuk produksi sebesar itu, menurut dia, diperlukan 1,5 kuintal beras dan 400 papan daun pisang. Baik beras dan daun pisang, kata dia, langsung didatangkan dari desa agar lebih murah dan kualitasnya terjamin.
Satu lontong, menurut peleh, dijual Rp 1.000 per bungkus. Untuk menghitung omzetnya, Peleh menyilakan Republika Online menghitung kapasitas produksi dikalikan harga jual. Jika sehari Peleh memproduksi 3 ribu lontong, maka ia bisa meraup pendapatan hingga Rp 3 juta per hari atau 90 juta per bulan. Angka yang fantastis untuk pelaku UKM di tengah perkampungan padat penduduk.
Melihat rekan-rekan sesama pembuat lontong yang sukses dengan gas pipa, menurut Peleh, banyak pembuat lontong tertarik untuk memasang gas pipa. Sayang, menurut Peleh, permintaan warga hingga kini belum terpenuhi. Belakangan Peleh mendengar, dalam waktu dekat, pemerintah dan PGN kembali bekerja sama untuk menambah sambungan pipa ke warga Kampung Lontong.
Mbah Ramiah yang mengaku menjadi penjual lontong sejak zaman Soeharto berkuasa mengakui, biaya produksi lebih murah ketika menggunakan gas bumi. "Sejak saya ganti gas PGN, bayarnya Rp 400 sampai 600 ribu per bulan. Bayar tiap bulan di Bank BNI. Lebih enak pakai PGN kayak air, ada meterannya muter. Gak usah ganti-ganti tabung."
Dia melanjutkan, ada beberapa keuntungan lain dengan memakai gas bumi. Satu hal yang membuatnya senang, pada usianya 70 tahunan, ia tidak lagi was-was ketika menyalakan api. "Elpiji lebih mahal. Sekali masak, satu tungku 1,5 tabung. Pernah kebakaran gara-gara masangnya kurang rapet. Apinya keluar-keluar."
Komitmen dukung UMKM
Regional Head Distribution II PT PGN Dian Kuncoro menjelaskan, jumlah pelanggan di Kampung Lontong yang menggunakan gas bumi saat ini sebanyak 88 pelanggan. Tahun ini, pihaknya sudah menerima 90 permintaan sambungan baru. Namun, hingga kini antara Pemkot Surabaya dan PGN masih mendiskusikan sistem terbaik untuk pembangunan infrastrukturnya dan pola penyaluran gas ke wilayah tersebut.
Yang pasti, ia menjamin secepat mungkin merealisasikannya sebagai bentuk komitmen untuk memberdayakan kawasan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Pihaknya tak berhenti sampai di situ. Sentra UMKM lain yang memang sudah siap dari segi infrastruktur dan calon pelanggan, juga bakal segera dipasang sambungan pipa gas. "Kami mendukung seluruh program pemerintah, termasuk rencana PGN akan memasang jaringan gas salah satunya di usaha UMKM Kampung Jajan di Keputran Panjunan," katanya.
Menurut dia, sesuai dengan konsep dan rencana ekonomi Jawa Timur yang ditetapkan Gubernur Soekarwo, UMKM adalah salah satu elemen penting dalam rencana pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pertumbuhan di Jatim, khususnya dalam persaingan ekonomi regional dapat didukung dengan energi yang bersaing, yaitu gas bumi.
Khusus di Surabaya, lanjut dia, langkah tersebut diwujudkan pemkot dalam pembentukan kawasan ekonomi UMKM yang diberdayakan secara maksimal sesuai rencana mereka. Selain itu, pihaknya berkomitmen untuk memenuhi permintaan Wali Kota Tri Rismaharini yang menginginkan PGN dapat menyalurkan gas ke Kampung Lontong untuk membantu meringankan beban usaha yang terus melonjak. "Tujuannya agar perekonomian warga terus bertahan dan meningkat," ujar Dian.
Dia mengatakan, karakternya gas bumi mempunyai keunggulan lebih dibanding energi lainnya. Yang pertama, tentu saja lebih ramah lingkungan. Kedua, aman karena berat jenisnya lebih ringan dari udara sehingga kecil kemungkinan terakumulasi dan mengakibatkan ledakan apabila terjadi kebocoran. Ketiga, harganya lebih murah dan bebas subsidi sehingga tidak membebani pamerintah.
"Penggunaan gas bumi juga dirasakan oleh Ibu Wali Kota Surabaya yang telah menggunakan gas bumi sebagai bahan bakar yang aman, lebih murah, praktis tidak perlu bawa-bawa tabung dan tentunya tidak khawatir akan kehabisan, seperti LPG atau bahkan minyak tanah.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menyampaikan, Pemkot Surabaya berkomitmen memberikan bantuan terbaik dalam program pembangunan infrastruktur gas. Apalagi, pemerintah akan membangun 24 ribu jaringan gas rumah tangga di 20 titik di Kota Pahlawan, dengan pembiayaan sebesar Rp 327 miliar pada 2016 mendatang. Dalam program tersebut, PGN ditunjuk sebagai pemasok gas.
Risma pun berjanji akan memudahkan segala proses perizinan, lantaran program tersebut bermanfaat bagi rakyat kecil dan pengembangan sentra UMKM. Pasalnya, penggunaan gas sangat efisien dan ramah lingkungan. “Kalau mengurus perizinan, jangan melalui orang lain, seperti mantan pejabat, misalnya. Malah jadinya ribet. Langsung ke saya. Saya tangani langsung. Akan saya bantu,” ujar Risma.
Pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia Agus Pambagyo mengakui, pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan rumah tangga maupun industri kecil sangat bermanfaat. Pasalnya, harga jual gas bumi lebih murah ketimbang bahan bakar lainnya. Dengan faktor itu, tentu para pelaku UMKM bisa lebih bersaing dalam menghasilkan produknya.