REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana penyetopan sementara impor jagung mesti dibarengi kehati-hatian. Jangan sampai berdampak kelangkaan komoditas jagung dibarengi harganya yang menjadi tinggi di dalam negeri. Pada akhirnya, hal tersebut malah akan mengundang impor besar-besaran ke depannya.
"Harus mempertimbangkan kesiapan petani jagung lokal memasok kebutuhan pakan berikut distribusinya," kata Ketua Bidang Penyuluhan Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (DPP-HKTI) Arum Sabil pada Rabu (5/8).
Pengaturan ekspor-impor jagung, lanjut dia, mesti dimulai dengan dibangunnya sinergi antara petani jagung dengan perusahaan penyedia pakan ternak. "Ini bicara realita saja, saat ini hasil produksi petani jagung kita untuk kepentingan perusahaan pakan ternak itu kekurangan," ujarnya.
Ia juga mengkritik praktik impor jagung yang notabene berjenis transgenik, tapi petani dalam negeri belum diperbolehkan menanam jagung dengan benih transgenik. Benih transgenik merupakan benih hasil rekayasa genetika yang dirancang sesuai keinginan produksi, misalnya ia dirancang tahan hama, cepat berbuah atau tahan kekeringan.
Diterangkannya, produksi jagung di luar negeri, salah satunya Amerika, menggunakan benih transgenik sehingga mereka bisa memproduksi besar-besaran dan mampu ekspor ke Indonesia.
Di sisi lain, petani jagung Indonesia belum diberdayakan untuk melakukan penanaman sendiri dengan menggunakan benih transgenik, bahkan seolah diharamkan. "Jangan sampai ada konspirasi perang pangan dunia yang membuat Indonesia harus terus impor jagung," tuturnya.