REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Indikator kesehatan industri, Purchasing Manajers' Index (PMI) perusahaan manufaktur di Cina tergelincir ke level terendah selama lima bulan. Hal ini menekan pemimpin negara untuk mengambil tindakan lebih lanjut.
Dalam survei yang dihimpun Bloomberg, PMI pada bulan Juli merosot ke level 50. Ini lebih rendah dibanding estimasi tengah, 50,1 dalam kajian survei itu. Sementara dibandingkan posisi bulan sebelumnya juga tak jauh berbeda, 50,2.
Untuk PMI non-manufaktur, di sektor jasa dan konstruksi berada di level 53,9. Ini cukup meningkat dibanding bulan sebelumnya, 53,8.
Angka ini pun menunjukkan adanya ekspansi cukup signifikan dibanding sektor manufaktur. "Permintaan internal dan eksternal untuk sektor manufaktur masih di sisi yang lemah," kata Statistik Senior di Biro Statistik Nasional, Zhao Qinghe dalam sebuah pernyataan resmi yang dirilis awal bulan ini, Sabtu (1/8).
Ada beberapa alasan utama yang mempengaruhi permintaan di sektor manufaktur melemah. Menurut Zhao, ini karena dampak cuaca panas, badai, juga harga komoditas.
PMI manufaktur didasarkan pada survey 3.000 perusahaan. Secara khusus, PMI untuk perusahaan besar menunjukkan level 50,6. Untuk perusahaan menengah 50, sedangkan untuk perusahaan kecil jauh lebih rendah, yaitu 46,9.
"Perusahaan kecil menghadapi lebih banyak kesulitan ketika menjalankan bisnis mereka," tambah Zhao.
Ia menjelaskan, perbedaan antara yang terjadi pada perusahaan besar dan kecil menunjukkan adanya pelonggaran monete, terutama pemotongan suku bunga. Proyek pemerintah daerah cenderung memberikan dorongan tambahan untuk produsen yang lebih besar.
Sebelumnya, Perdana Menteri Li Keqiang memiliki target pertumbuhan ekonomi pada 2015 sebesar 7 persen sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia. Sementara, Jumat lalu (71/7), saham Cina justru merosot ditutup dengan 1,13 persen. Saham Cina mengalami penurunan bulanan terbesar sejak Agustus 2009.