REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) meminta kepada pemerintah agar melakukan revisi tarif bea keluar biji kakao menjadi tarif flat 15 persen. Hal ini untuk menghambat agar biji kakao tidak terlalu banyak di ekspor dan bisa diserap oleh industri di dalam negeri.
"Produksi biji kakao di dalam negeri turun sehingga efeknya tahun lalu, industri kita harus impor mencapai 110 ribu ton," ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia Sindra Wijaya di Jakarta, Rabu (29/7).
Sindra mengatakan, kebutuhan kakao di dalam negeri pada 2014 lalu mencapai 400 ribu ton sedangkan pada tahun ini diprediksi kebutuhan akan naik menjadi 450 ribu ton. Produksi biji kakao pada tahun lalu sebesar 400 ribu ton dan di ekspor sebanyak 63 ribu ton. Dengan demikian industri coklat di dalam negeri mengalami kekurangan bahan baku.
Sindra menjelaskan, kapasitas terpasang industri kakao bisa mencapai 700 ribu ton. Saat ini kapasitas yang terpakai baru mencapai sekitar 50 persen saja, karena kurangnya bahan baku.
"Bahan baku kakao turun karena sebagian besar perkebunan kakao sudah tua yakni berusia lebih dari 30 tahun sehingga produktifitasnya menurun," kata Sindra.
Selain itu, penyebab lain produksi biji kakao turun adalah adanya alih fungsi lahan dari kakao menjadi sawit. Sindra mengatakan, program Gernas Kakao yang dijalankan oleh Kementerian Pertanian sejak 2009 belum maksimal karena baru mencakup 26 persen dari keseluruhan area nasional. Sindra berharap, program ini bisa terus berjalan agar produksi naik sehingga impor biji kakao berkurang dan industri berkembang.
Seiring dengan hal tersebut tarif bea keluar biji kakao juga harus direvisi oleh pemerintah. Tak hanya itu, Sindra juga mengusulkan agar pemerintah membebaskan PPn sebesar 10 persen agar bisa meningkatkan daya saing dan penghasilan petani kakao.