REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) mengkritisi kehadiran Pertalite yang baru saja diluncurkan Pertamina hari ini. Menurut KPBB, Pertalite menjadi BBM dengan spec yang sia-sia karena dianggap tidak memenuhi persyaratan kualitas untuk kendaraan bermotor di Indonesia.
KPBB meminta pemerintah untuk mematuhi Vehicle Emission Standard (Euro 2) yang sudah diputuskan per 1 Januari 2007 lalu. Keberadaan Pertalite dengan RON 90 dinilai tidak sesuai dengan Vehicle Engine Requirement yang seharusnya mengacu pada standar Euro 2.
Direktur Eksekutif Ahmad Syafruddin menilai pemerintah sudah seharusnya menyediakan BBM yang sesuai dengan kebutuhan standar Euro 2 tersebut yakni Ron 91 ke atas.
"Hal ini yang tidak pernah dipikirkan Kementerian ESDM dan Pertamina," ujarnya kepada Republika, Jumat (24/7).
Mengacu pada Standar Euro 2, Syafruddin mengatakan Indonesia menempati posisi empat terbelakang bersama Kamboja, Myanmar dan Laos dalam deretan negara-negara di Asia Tenggara.
Menurutnya, Indonesia harus bisa sejajar dengan negara-negara Asia Tenggara lain seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, Filipina, Singapura, dan Brunei yang sudah mematuhi peraturan tersebut.
Sejak 2007, lanjut dia, seluruh varian sepeda motor dan mobil telah memiliki compression ratio (CR) minimal 9:1.
Ia mencontohkan seperti sepeda motor Scopy memiliki CR 9,2:1, untuk mobil LCGC dan MPV kelas 1500 cc ke bawah rata-rata memiliki CR 10:1. Sedangkan mobil kelas menengah dan mobil mewah memiliki CR 11:1 dan 11/12:1.
"Kendaraan dengan Compression Ratio 9:1 membutuhkan bensin dengan RON minimal 92," sambungnya.
Sementara kendaraan dengan CR 10:1 ke atas, tambahnya, membutuhkan BBM dengan kandungan RON minimal 95.
Dengan demikian, ia menyatakan sudah tak ada lagi kendaraan yang membutuhkan BBM dengan RON di bawah 92.
Apabila dipaksakan sesuai RON requirementnya, kendaraan akan ngelitik (knocking) dengan konsekuensi mobil menjadi tidak bertenaga lantaran BBM berkandungan RON lebih rendah dari engine requirementnya akan terbakar oleh kompresi piston di ruang pembakaran mesin (self ignition) dan bukan terbakar oleh percikan api busi.
Kedua, efek dari itu akan membuat BBM menjadi lebih boros sekitar 20 persen karena terbakar percuma tanpa menghasilkan tenaga dus emisi juga lebih tinggi.
"Jadi, pemasaran Pertalite 90 akan merugikan konsumen dan secara makro merugikan ekonomi nasional," lanjutnya.
Ia menilai hal tersebut juga melanggar UU No. 32/2009, PP No. 41/1999, Kepmen LH No. 141/2003 dan UU No. 8/1999.