REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat kebijakan ekonomi publik, Ichsanudin Noorsy menilai pembayaran Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan dalam jangka 10 tahun kepesertaan, untuk mendayagunakan dana iuran buruh.
"Penundaan pembayaran selama 10 tahun itu karena ingin mendayagunakan uang yang tersimpan untuk kebutuhan tertentu oleh BPJS. Misal, pada suatu waktu tidak bisa dicairkan, 10 tahun tertunda, itu motif penempatan namanya," jelasnya saat dihubungi ROL, Sabtu malam (4/7).
Noorsy menjelaskan lebih lanjut, penundaan pencairan dalam waktu 10 tahun adalah karena ada keinginan dari BPJS ketenagakerjaan untuk melakukan penempatan dana di sektor-sektor tertentu dalam rangka membantu pemerintah yang kekurangan likuiditas.
"Ini ada motif dari BPJS ketenagakerjaan membantu pemerintah yang kekurangan pendanaan dari segi pelaksanaan APBN. Maka BPJS bermaksud untuk mendayagunakan uang yang ia punya. Uang yang bisa digunakan adalah dengan cara menunda pembayaran jaminan hari tua," katanya.
Cara mendayagunakan uang tersebut antara lain bisa lewat Surat Utang Negara (SUN), Surat Berharga Negara (SBN) atau lewat sukuk. Menurutnya, pemerintah mempunyai motif ganda dengan JHT. Motif yang pertama, pemerintah akan menyatakan surat hutangnya laku. Kedua, dengan surat hutangnya laku, pemerintah mengatakan tingkat kepercayaan masih baik.
"Padahal yang membeli adalah pemerintah, siapa itu? BPJS ketenagakerjaan," ujarnya.
Intinya, menurut Noorsy, maksud pemerintah baik dengan memberlakukan kebijakan JHT ini. Namun, tetap diperlukan perbaikan daya beli buruh. Karena penundaan 10 tahun pada hakikatnya, lanjut Noorsy, akan memukul daya beli buruh habis-habisan.
"Ketika daya belinya dipukul demikian rupa. Itu harus diselsaikan dengan perbaikan daya beli. Ketika makin ditunda, ini akan makin memukul daya beli," jelasnya lagi.