REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kawasan Bintuni di Papua Barat diproyeksikan menjadi megapolitan industri petrokimia di Indonesia bahkan skala global. Pasalnya, kawasan di Indonesia timur itu memiliki paling tidak dua keunggulan.
Pertama, melimpahnya potensi gas bumi yang dibutuhkan industri petrokimia dan yang kedua adalah beberapa perusahaan nasional dan multinasional telah siap menanam investasi seperti Ferrostaal Industrial Project GmbH, raksasa petrokimia asal Jerman.
"Ferrostaal dari Jerman, LG Chemical dan Pupuk Indonesia sudah siap masuk ke Bintuni dan mereka menunggu kepastian harga dan pasokan gas. Inilah yang harus dipercepat kepastian harganya," kata Menperin Saleh Husin pada Forum Dialog dengan Pimpinan Redaksi di Jakarta, Selasa (30/6/2015).
Menperin mengakui, pihak calon investor telah beberapa kali meminta kepastian dukungan energi gas sebagai salah satu basis kalkulasi investsi dan operasi. Ini mengingat industri petrokimia merupakan bisnis jangka panjang.
"Untuk Bintuni, memang perlu intervensi pemerintah terhadap harga gas karena ini demi kepastian investasi petrokimia yang mendukung beragam industri lainnya dan menciptakan lapangan kerja," tegas Saleh Husin.
Harga gas domestik selama ini dinilai Kemenperin menjadi kendala utama pengembangan petrokimia. Banderol harga gas masih USD 9-10 per MMBTU sedangkan di luar negeri hanya USD 3-4 per MMBTU.
Selain itu, perlu dilakukan joint study antara Pupuk Indonesia selaku pengguna gas dengan BP Berau selaku penghasil gas. Diperlukan pula, koordinasi dengan Kementerian/Lembaga maupun instansi terkait agar pembangunan pabrik dapat berjalan dengan lancar.
Kemenperin merinci, pembangunan industri petrokimia di Teluk Bintuni mempunyai beberapa alasan. Pertama, potensi gas bumi di Teluk Bintuni yang sudah diidentifikasi sebesar 23,8 TSCF, dimana sebesar 12,9 TSCF sudah dialokasikan untuk 2 train LNG, dan sisanya sebesar 10,9 TSCF untuk 1 train LNG. Selain itu, ditemukan juga cadangan baru sebesar 6-8 TSCF.
Potensi gas bumi tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku industri ammonia untuk mendukung industri urea dan bahan baku industri methanol untuk mendukung industri pusat olefin.
Menurut Menperin, pembangunan industri melalui program hilirisasi serta kompleks industri petrokimia akan berdampak terhadap pengembangan daerah, meliputi infrastruktur, pendidikan dan kesejahteraan.
Acara berformat Focus Group Discussion yang bertema “Urgensi Pengembangan Industri Hulu Melalui Kebijakan yang Komprehensif” dihadiri sekitar 20 pemimpin redaksi media massa. Turut hadir seluruh jajaran Dirjen dan staf ahli di lingkungan Kemenperin.
Pemimpin redaksi dan redaktur senior yang hadir antara lain Suryo Pratomo (Metro TV), Nurjaman Muchtar (SCTV), Arifin Asydhad (Detik.com), Yadi Hendriana (MNC TV), Pieter Giero (Kompas), Arif Budisusilo (Bisnis Indonesia), M Ikhsan (Warta Ekonomi), dan Firdaus Baderi (Neraca).
Berikutnya, Apreyvita Dyah W (Global TV), Nasihin Masha (Republika), Kemal Gani (Swa), Saiful Hadi (Antara), Heddy Lugito (Gatra), Kiki Iswara (Rakyat Merdeka), Ardian T Gesturi (Kontan), Eko B Supriyanto (InfoBank), dan Wahyu Muryadi dari Tempo TV memandu FGD sebagai moderator.