Ahad 21 Jun 2015 15:45 WIB

Pelemahan Rupiah Picu Perlambatan Ekonomi

Rep: c14/ Red: Dwi Murdaningsih
Sejumlah tukang becak membawa spanduk bertuliskan Save Rupiah di Pasar Gede, Solo, Jawa Tengah, Kamis (12/3).  (Antara/Yusuf Nugroho)
Sejumlah tukang becak membawa spanduk bertuliskan Save Rupiah di Pasar Gede, Solo, Jawa Tengah, Kamis (12/3). (Antara/Yusuf Nugroho)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pertumbuhan ekonomi Indonesia dinilai sudah di ambang resesi. Menurut pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy, ini lantaran pemerintah tidak cukup optimal dalam menyerap pendapatan melalui pajak. Di samping itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus merosot.

“Menurut saya, resesi sudah di depan mata jika penerimaan pajak short fall dan belanja short age. Indikatornya, 1 dolar sama dengan Rp 14.250,” kata Ichsanuddin Noorsy, Ahad (21/6).

Terus melemahnya nilai tukar rupiah membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia dinilai akan terus terseok dan melambat. Meskipun diprediksi tidak akan sedemikian parah, pemerintah diminta agar berhati-hati dalam mengambil kebijakan ekonomi.

“Itu lampu kuning resesi menjurus perlambatan total, walau tidak sampai pertumbuhan negatif seperti tahun 1997-1998,” ujar Noorsy.

Noorsy menengarai, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II hanya sebesar 4,2 persen dan bahkan akan terus melorot. Noorsy menyebut, Indonesia kini berada dalam posisi yang rawan lantaran stagnansi sekaligus pada jalur keuangan dan jalur perdagangan.

Dia mencontohkan, Krisis 1997-1998 lebih disebabkan oleh kemacetan di sektor keuangan. Namun, sejak tahun 2011, penurunan kinerja ekonomi Indonesia lebih disebabkan sektor perdagangan. Ini, kata Noorsy, dibuktikan antara lain defisit transaksi berjalan (current account deficit) pada neraca perdagangan.

”Untuk 2015, bisa dipicu keduanya (sektor keuangan dan sektor perdagangan). Ini yang lebih berbahaya. Pukulan ganda yang mengakibatkan defisit perdagangan, defisit modal, defisit anggaran,” lanjut dia.

Karena itu, menurut Noorsy, solusinya agar pemerintah fokus pada realokasi anggaran ke sektor-sektor pembiayaan rakyat. Misalnya, penciptaan lapangan kerja melalui proyek-proyek yang berbasis padat modal. Ekonom ini juga menegaskan, dampak resesi bisa diperkecil bila pemerintah tidak mencabut subsidi listrik 450 VA. Demikian pula, bila banyak pemerintah daerah menganggarkan belanja pada sektor riil.

“Pemerintah harus berhenti melahirkan kebijakan yang memiskinkan seperti pencabutan subsidi. Di sini letak salahnya kebijakan itu, akibat menerima saran-saran ekonom menyesatkan, termasuk ekonom dari Bank Dunia dan IMF,” tutup dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement