Sabtu 09 May 2015 18:59 WIB

BI Tidak Menjaga Kesehatan Bank Secara Individu, Tetapi..

Rep: c84/ Red: Satya Festiani
Karyawan melintas di Lobby Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Selasa (14/4).  (Prayogi/Republika)
Foto: Republika/Prayogi
Karyawan melintas di Lobby Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Selasa (14/4). (Prayogi/Republika)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI) Yati Kurniati menegaskan tugas BI sebagai bank sentral Indonesia ialah menjaga kesehatan perbankan secara industri, bukan secara individu.

"BI tidak mengawasi atau menjaga kesehatan individu bank tapi melihat secara industri," ujarnya dalam acara Pelatihan Wartawan Ekonomi, di Sheraton Bandung Hotel & Towers, Jalan Ir. H. Juanda, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (9/5).

Ia menambahkan, kehati-hatian secara makro yang berisiko sistemik, potensi instabilitas, gangguan atau kegagalan di suatu institusi keuangan menjadi perhatian yang tidak bisa diabaikan. Yati menyatakan, hal ini untuk mengantisipasi jika ada institusi keuangan yang besar mengalami kegagalan kemudian merembet secara luas.

Ia juga menjelaskan fungsi kebijakan makroprudensial dimakudkan untuk mengurangi reiiko dimana kata dia, BI harus bekerjasama dengan OJK, Kemenkeu, dan LPS. Kemudian, fungsi lainnya ialah untuk mendorong intermediasi yang seimbang sehingga penyaluran kredit sesuai dengan penyerapan perekonomian. Yati melanjutkan, fungsi kebijakan makroprudensial juga untuk meningkatkan efisiensi sistem dan akses keuangan.

Sejauh ini, kata Yati, sistem keuangan khususnya yang ada di perbankan cenderung membaik, meskipun sempat terjadi penurunan.

"Kalau kita lihat sistem keuangan kita terutama perbankan. Kinerja perbankan sekarang ini untuk likuiditasnya cenderung membaik, Meskipun sedikit menurun pada Maret," lanjutnya.

Untuk itu, Yati menjelaskan ada lima instrumen pengaturan makro seperti memperkuat ketahanan permodalan dan mencegah leverage yang berlebihan. Kedua ialah mengelola fungsi intermediasi dan mengendalikan risiko kredit, likuiditas, risiko nilai tukar, dan risiko suku bunga, serta risiko lainnya yang berpotensi menjadi risiko sistemik.

"Yang ketiga ialah membatasi konsentrasi eksposur. Keempat, memperkuat ketahanan infrastruktur keuangan. Dan terakhir, meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan," paparnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement