REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar dinilai sangat berbahaya bagi perekonomian nasional karena bertentangan dengan amanat konstitusi. Demikian menurut direktur kajian bisnis dan ekonomi pada Pusat Studi Sosial Politik (PUSPOL) Kusfiardi.
Lebih lanjut, kata dia, UU 24/1999 merupakan pesanan Badan Moneter Inernasional (IMF) ketika era menjelang runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Regulasi itu, menurut Kusfiardi, hanya makin membuat negara kehilangan kedaulatannya untuk mengendalikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Ini pun yang menyebabkan Indonesia hingga hari ini masih terjerat dampak Krisis Moneter Asia sejak tahun 1997. Yakni, devisa Indonesia, dalam bentuk dolar AS, yang bebas keluar masuk kapanpun para spekulan mau sejak menggejalanya Krisis 1997.
"Sementara, negara lain seperti Malaysia, menolak untuk melepaskan nilai tukarnya ke pasar. Makanya Malaysia cepat pulih (dari Krisis 1997)," ucap Kusfiardi di Cikini, Jakarta, Kamis (23/4).
Dengan UU 24/1999, lanjut dia, pemodal dan spekulan asing bebas mempermainkan nilai tukar rupiah. Pemerintah pun, termasuk Presiden Joko Widodo, menurut Kusfiardi, masih enggan memperbaiki dampak buruk ini.
"Rezim devisa bebas bertentangan dengan konstitusi. Juga membahayakan perekonomian nasional. Tapi pemerintah nggak pernah sentuh UU ini karena menjadi kepentingan modal internasional," ungkap dia.
Ditambahkannya pula, saat ini Indonesia termasuk ke dalam negara-negara yang memberlakukan suku bunga tinggi secara internasional. Sehingga sangat menguntungkan para spekulan asing yang membawa masuk dana mereka ke Indonesia untuk kemudian dibelikan surat utang negara (SBI), yang berbunga tinggi itu. Lantas, dana ini pun bebas ditariknya lagi, dari nominal rupiah ke dolar AS.
"Paling untung. Jadi kita ini sekarang mensubsidi para spekulan itu," ucap dia.
Karenanya, ujar Kusfiardi, pihaknya berharap pemerintahan Joko Widodo berani mengembalikan lagi kedaulatan negara untuk mengontrol nilai tukar rupiah. Ini pun akan berdampak pada stabilisasi nilai tukar yang, menurut Kusfiardi, sangat penting bagi pembangunan infrastruktur di Indonesia secara riil.
"Sekarang (dengan rezim devisa bebas), bagaimana mau membuat perkiraan (bisnis) jangka panjang? Jangka pendek saja susah? Proyeksi bisnis kan butuh stabilitas nilai tukar," pungkasnya.