REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) semester II-2014 kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Sidang Paripurna di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (7/4). Ketua BPK Harry Azhar Azis mengatakan ada beberapa masalah yang menonjol.
Dia menyebutkan masalah yang menonjol antara lain penerapan Sistem Akuntansi Pemerintahan (SAP) dan penerimaan pajak dari penerimaan migas, serta ketidakpatuhan KKKS atas ketentuan Cost Recovery.
"Pemerintah Pusat dan Daerah belum siap mendukung penerapan SAP berbasis akrual pada 2015 dalam penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)," kata dia, Selasa (7/4).
BPK, lanjutnya, menemukan masalah penerimaan pajak dan migas senilai Rp 1,124 triliun yang terdiri atas potensi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) migas minimal sebesar Rp 666,23 miliar dan potensi kekurangan penerimaan PBB migas tahun 2014 minimal sebesar Rp 454,38 miliar. Ia mengatakan ketidakpatuhan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) terhadap ketentuan Cost recovery telah mengakibatkan kekurangan penerimaan negara senilai Rp 6,19 triliun.
Masalah lain, kata Harry, yang terjadi di pemerintah pusat adalah mengenai belanja infrastruktur di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mengakibatkan hasil proyek senilai RP 5,38 triliun tidak dapat dimanfaatkan dengan maksimal dan terdapat kerugian ngera senilai Rp 562,66 miliar.
Selain itu, Harry mengungkapkan, BPK juga menemukan Kementerian Pertanian (Kementan) tidak berhasil mencapai target pertumbuhan produksi kedelai sebesar 20,05 persen per tahun dan target swasembada kedelai tahun 2014 sebanyak 2,70 juta ton tidak tercapai. Sedangkan terkait program subisi beras miskin (raskin), BPK menilai pelaksanaan program penyaluran subsidi beras miskin (raskin) belum sepenuhnya efektif untuk mencapai tujuan-tujuan program tersebut.
Khusus pemeriksaan kinerja atas efektivitas layanan paspor pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), BPK menyimpulkan telah cukup efektif dalam pelayanan paspor, namun BPK menemukan adanya masalah dalam perubahan mekanisme pembayaran berupa pembayaran elektronik dengan Payment Gateway (PG) yang mengabaikan risiko hukum.