Selasa 17 Mar 2015 02:45 WIB

Komisi IX: Paket Kebijakan Ekonomi Akan Efektif

Petugas menghitung uang rupiah dan dolar di salah satu penukaran uang di Jakarta, Kamis (5/3).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Petugas menghitung uang rupiah dan dolar di salah satu penukaran uang di Jakarta, Kamis (5/3).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Wakil Ketua Komisi XI Gus Irawan Pasaribu menilai paket kebijakan ekonomi yang segera dikeluarkan Presiden Joko Widodo akan efektif untuk mempercepat reformasi struktural perekonomian.

"Salah satunya dengan dampak penurunan defisit transaksi berjalan di bawah tiga persen terhadap Produk Domestik Bruto pada 2015," katanya saat dihubungi Antara di Jakarta, Senin.

Hal itu, kata dia, disebabkan beberapa kebijakan dalam paket itu dilandasi tujuan untuk mendorong industri berorientasi ekspor.

Gus menyoroti beberapa wacana kebijakan dalam paket ekonomi tersebut, seperti fleksibilitas skema insentif pelonggaran pajak (tax allowance) yang "dihadiahkan" untuk investor berorientasi ekspor, selain sejumlah syarat lainnya.

Selain stimulus bagi kinerja ekspor, kata Gus, skema insentif pajak dari pemerintah ini juga seharusnya dapat meningkatkan aliran investasi asing langsung untuk menumbuhkan sektor rill.

Di sisi lain, menurut dia, dengan penggelontoran insentif fiskal ini, pemerintah dapat mendorong upaya ekstra untuk menggenjot penerimaan pajak, yang ditargetkan naik 30 persen menjadi Rp.1.290 triliun pada 2015.

"Saya melihat skema insentif ini akan mendorong dunia usaha secara luas. Dengan begitu, seharusnya pemerintah juga menyambutnya, salah satunya dengan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan mendorong naiknya penerimaan," ujar dia.

Legislator dari Fraksi Partai Gerindra ini juga menyoroti kebijakan peningkatan penggunaan biofuel hingga 15 persen, yang diharapkan dapat mengurangi tekanan impor minyak untuk BBM, yang hingga kini masih terasa di neraca perdagangan sektor migas.

"Namun untuk biofuel, perlu ada penjelasan juga apakah kebijakan di era Presiden SBY, salah satunya kredit pemberdayaan energi nabati atau revitalisasi perkebunan diteruskan atau tidak, bagusnya sih diteruskan," ujarnya.

Gus menyebutkan kebijakan tersebut membutuhkan upaya peningkatan produksi biofuel. Maka dari itu, dia meminta pemerintah memastikan kesiapan industri biofuel, yang banyak dihasilkan dari produksi minyak sawit mentah (CPO), untuk mencukupi permintaan.

"Perlu ada juga perlindungan untuk pemilik lahan yang memproduksi CPO ini, terutama pemilik lahan dengan luas hektare yang kecil. Apa fasilitas buat mereka agar produksi dapat bertambah," ujarnya.

Gus meyakini peningkatan penggunaan biofuel tersebut akan menghemat devisa karena pengurangan impor, yang akhirnya akan berdampak positif bagi neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan.

Neraca perdagangan, selain neraca jasa, modal dan pendapatan, menjadi kontributor bagi neraca transaksi berjalan.

Pada 2013, defisit transaksi berjalan tercatat 29,1 miliar dolar AS atau 3,3 persen terhadap Produk Domestik Bruto.

Bank Indonesia memperkiraan defisit transaksi berjalan tahun 2015 di kisaran tiga persen terhadap PDB, namun defisit tersebut digunakan untuk pembiayaan produktif, berbeda dengan 2013 ketika defisit digunakan untuk impor minyak olahan didorong kebutuhan subsidi BBM.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil memastikan pemerintah akan menerbitkan empat aturan baru yang masuk dalam tahapan awal paket kebijakan reformasi struktural perekonomian.

Empat revisi aturan atau aturan baru yang segera diumumkan oleh Presiden antara lain terkait insentif pajak, pembebasan visa, penggunaan biofuel, bea masuk antidumping, serta BUMN reasuransi.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement