REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga batu bara internasional (Global Coal Newcastle) mengalami penurunan sebesar 17 persen pada 2014 dengan harga rata-rata di kisaran 70,95 dolar AS. Melemahnya permintaan domestik China, depresiasi mata uang negara-negara eksportir utama batubara terhadap dolar AS dan kontrak take-or-pay Australia merupakan faktor di balik melemahnya harga batubara internasional.
Presiden Direktur Adaro Energy Garibaldi Thohir mengatakan, situasi makro tahun lalu masih sulit dengan harga batu bara yang masih tertekan akibat kelebihan pasokan dan kapasitas di pasar. Pihaknya memperkirakan kondisi pasar masih akan menantang pada 2015.
Namun demikian, dia yakin bahwa fundamental jangka panjang untuk sektor batu bara dan energi masih tetap kokoh. Fokusnya adalah pada keunggulan operasional, menjaga kas dan pengembangan bisnis termasuk memperkuat bisnis logistik dan bergerak ke hilir menuju bisnis ketenagalistrikan.
''Kami tetap berada pada jalur yang tepat untuk menciptakan nilai maksimum dari batubara Indonesia, termasuk membayar dividen tunai tahunan dan membantu membangun negara,” kata dia, Rabu (11/3).
Permintaan atas impor batubara dari Cina menurun hingga 22 juta ton pada 2014 akibat kelebihan pasokan di wilayah pesisir China. Pemerintah Cina menerbitkan beberapa kebijakan untuk membatasi impor di wilayah pesisir. Seperti aturan baru mengenai pajak impor untuk batubara termal sebesar enam persen dan mengenai pengendalian kualitas.
Namun bagi Adaro, kedua kebijakan tersebut tidak berdampak besar karena adanya perjanjian perdagangan bebas antara Cina dan ASEAN serta karakteristik Envirocoal yang memiliki kadar polutan yang sangat rendah. Di sisi lain, permintaan atas impor batubara dari India masih kuat pada 2014 dan diperkirakan masih akan tumbuh pada 2015 karena tingginya pemanfaatan pembangkit listrik tenaga uap, serta adanya gangguan pasokan batubara dalam negeri.
Sementara itu, permintaan batubara domestik di Indonesia mengalami pertumbuhan yang stabil sepanjang tahun. Meski tidak sesuai harapan pemerintah Indonesia akibat tertundanya komisioning beberapa pembangkit listrik.