REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pertanian Khudori menilai kenaikan harga beras beberapa pekan belakangan tak dinikmati petani. Pihak yang dianggap paling diuntungkan dari kondisi saat ini adalah pihak yang berada di level tengah seperti pedagang besar atau pemilik penggilingan.
"Justru yang paling dirugikan adalah petani dan konsumen," kata Khudori, Selasa (3/3).
Karena ketidakseimbangan dalam harga jual di tingkat petani dengan pedagang, lanjut dia, terdapat celah harga yang relatif sangat besar.
Harga pembelian pemerintah (HPP) pada beras lebih rendah daripada harga jual di pasar, yakni HPP-nya sebesar Rp6.800,00 per kilogram, sedangkan konsumen membeli beras dengan harga Rp7.400,00/kg.
"Jika skema pembelian seperti itu, memang akan menguntungkan petani. Akan tetapi, dengan situasi sekarang, jawabannya ya atau tidak," kata Khudori.
Kenaikan harga beras yang mencapai 30 persen di beberapa daerah, menurut dia, akibat adanya perbedaan transmisi harga antara gabah dan beras, atau sebaliknya.
Akan tetapi, kata dia, kondisi harga beras yang tengah terjadi saat ini tidak bisa disangkutpautkan dengan tindakan kartel atau spekulan beras yang bersekongkol untuk menaikkan harga.
"Pedagang besar dan pengusaha penggilingan memang berpotensi menjadi spekulan. Namun, tidak bisa dikatakan kartel karena tidak ada sifat-sifat yang seperti itu," kata Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf, Senin (2/3).
Sifat-sifat yang dia maksud ialah adanya koordinasi atau persekongkolan untuk menentukan jumlah produksi, harga, dan pembagian wilayah penjualan beras.
Namun, hal tersebut belum bisa dibuktikan karena dalam kondisi saat ini kenaikan harga beras di tiap wilayah berbeda dan dinilai hanya sebuah respons pedagang lokal terhadap situasi pasar.