Ahad 22 Feb 2015 19:00 WIB

'Ditjen Pajak Idealnya Badan Semi Otonom'

Rep: C87/ Red: Satya Festiani
ditjen pajak
Foto: ditjen pajak
ditjen pajak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembentukan badan khusus Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) di bawah Presiden dinilai memberikan dampak positif bagi penerimaan pajak negara.

Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo mengatakan, idealnya Ditjen Pajak menjadi badan yang semi otonom namun tidak terpisah seluruhnya dengan Kementerian Keuangan. Artinya, Ditjen Pajak langsung bertangung jawab ke Presiden tapi ada skema koordinasi dengan Menteri Keuangan. Sebab, otoritas fiskal secara luas berada di kewenangan Menteri Keuangan.

“Kalau kondisi ideal ini diwujudkan akan berdampak positif pada penerimaan pajak, karena menjawab kendala yang selama ini dihadapi Ditjen Pajak,” kata Yustinus saat dihubungi Republika Online, Ahad (22/2).

Menurutnya, beberapa kendala yang dihadapi Ditjen Pajak yakni, pertama, persoalan yuridis yang dinilai secara kedudukan bermasalah. Secara yuridis di undang-undang, posisi Dirjen Pajak adalah pejabat Eselon I sehingga sulit berkoordinasi dengan pejabat negara yang setingkat menteri.

Kedua, lanjutnya, kendala sumber daya manusia (SDM). Selama ini Ditjen Pajak terikat undang-undang kepegawaian pegawai negeri sipil yang dinilai tidak fleksibel. Sebab, ketika butuh banyak pegawai, Ditjen Pajak tidak bisa langsung merekrut, sedangkan saat punya pegawai yang tidak performent tidak bisa langsung memberhentikan.

Ketiga, dalam hal kewenangan Ditjen Pajak tidak punya otonomi untuk mendesain sendiri lembaga dan cara kerja. Misalnya rencana penambahan kantor pajak yang memakan waktu lama. Sebab, harus melalui persetujuan Menteri Keungan dan lain-lain sehingga sampai beberapa tahun baru disetujui.

“Memang dalam jangka pendek tidak bisa menyelesaikan masalah. Karena beberapa problem penerimaan pajak tidak semata-mata dikarenakan seperti ini. Tapi dalam jangka menengah, prasyarat Ditjen Pajak menjadi institusi kuat, profesional dan akuntabel sehingga akselerasi penerimaan pajak lebih cepat,” terangnya.

Terkait skema koordinasi dengan Kemenkeu, Yustinus mencontohkan model Ditjen Pajak di beberapa negara dipimpin oleh Dewan Komisioner, seperti OJK, dan ada satu perwakilan dari Kemenkeu. Atau cara kedua, ada forum koordinasi yang dibuat permenen, dalam beberapa minggu sekali pejabat seperti Menkeu, Dirjen Pajak, dan Menko Perekonomian terlibat forum tersebut.

Menurutnya, negara seperti Belanda saat ini menggunakan skema Ditjen Pajak di bawah Kemenkeu, sedangkan Amerika Serikat dan Australia skema badan semi otonom

Menurutnya, jika tahun 2016 badan tersebut direalisasikan, dengan penataan dan seleksi pegawai serta pembangunan infrastruktur, penerimaan pajak secara efetif akan meningkat sekitar satu sampai dua tahun setelah badan itu bekerja.

“Sekitar 2018 akan kelihatan hasilnya. Saya kira dengan badan ini, akan membantu pemerintah mencapai target 16 persen tax ratio yang saat ini baru 12 persen,” imbuhnya.

Meski demikian, Yustinus mengkhawatirkan dengan adanya kewenangan yang lebih besar kepada Ditjen Pajak harus diikuti dengan skema anti korupsi. Sebab, berdasarkan pengalaman beberapa negara berkembang seperti Afrika Selatan, Peru, dan Guatemala, saat Ditjen Pajak diubah menjadi badan semi otonom terjadi peningkatan penerimaan pajak setelah lima tahun kerja. Namun, setelah itu justru turun seperti posisi semula akibat korupsi para pejabatnya. Adanya kewenangan lebih besar dinilai memberikan ruang untuk korupsi lebih besar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement