Sabtu 21 Feb 2015 16:39 WIB
Kisruh Lion Air

Kisruh Lion Air Momentum Evaluasi Monopoli Penerbangan

Rep: Dyah Ratna Meta Novia/ Red: Indah Wulandari
Aparat keamanan melakukan penjagaan terkait kasus delay Lion Air, Jumat (20/2).
Foto: Rakhmawaty La'lang/Republika
Aparat keamanan melakukan penjagaan terkait kasus delay Lion Air, Jumat (20/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kisruh yang melanda maskapai Lion Air seharusnya dijadikan momentum untuk menelaah kembali kondisi persaingan penerbangan Tanah Air.

“Kami mendesak pemerintah dan pihak terkait memperhatikan monopoli yang terjadi di bisnis penerbangan domestik,” ujar ekonom Universitas Sam Ratulangi Manado Agus Tony Poputra, Sabtu (21/2).

Menurut dia, praktik monopoli memiliki market power, yaitu menetapkan harga sendiri jauh di atas harga dalam persaingan sempurna. Hal ini menimbulkan efek yang kurang menguntungkan bagi konsumen.

Dalam bisnis penerbangan, perilaku monopoli yang sesungguhnya terlihat saat peak season. Sebaliknya pada low season, perilaku ini kurang tampak karena terkendala upaya meningkatkan loading factor yang umumnya rendah lewat harga murah.

“Paling tidak, ada tiga akibat buruk dari praktik monopoli di bisnis penerbangan yang masyarakat harus ketahui. Sebab ini sering terjadi,” ujarnya.

Pertama, kata Poputra, kondisi penerbangan domestik di Indonesia saat ini cenderung mengarah ke monopoli. Ini tercermin, adanya satu grup perusahaan yang diperkirakan menguasai lebih dari 50 persen aktivitas penerbangan.

Pemerintah akan semakin tergantung pada pelaku monopoli atau monopolist. Akibatnya akan menyandera kebijakan pemerintah yang terkait dengan bisnis penerbangan. Dampaknya, persaingan usaha penerbangan semakin menjadi tidak sehat.

Kedua, perusahaan yang memonopoli penerbangan pasti memiliki banyak koneksi penerbangan. Hal ini tentunya membutuhkan time schedule yang ketat.

Keterlambatan pada suatu titik dapat mengganggu time schedule  secara keseluruhan. Untuk tujuan tersebut, perusahaan penerbangan lebih berani mengambil risiko.

“Di lapangan dapat terlihat pada cuaca buruk ada penerbangan tertentu yang tetap berani mendarat sedangkan penerbangan yang lain mengalihkan pada bandara yang lain. Selain itu, jadwal pemeliharaan pesawat dapat saja dilanggar, di sini keselamatan penumpang menjadi taruhan,” terang Poputra.

Ketiga, posisi monopoli membuat konsumen tergantung pada layanan penerbangan monopolist. Konsumen kurang memiliki pilihan untuk menghindari perusahaan penerbangan yang memberikan kualitas kurang baik.

Dalam dunia penerbangan Indonesia, perbedaan kualitas sangat terlihat antara perusahaan penerbangan yang satu dengan lainnya.

“Sebaiknya pemberian tambahan slot diberikan kepada penerbangan yang pangsa pasarnya masih kecil namun berkualitas baik."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement