Rabu 11 Feb 2015 23:39 WIB

Gangguan Bisnis Nasabah Dorong Pembiayaan Bermasalah BPRS

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
BPRS, ilustrasi
BPRS, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Rasio pembiayaan bermasalah (NPF) di bank-bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) mengalami kenaikan. Gangguan bisnis mikro nasabah membuat cicilan pelunasan pembiayaan ikut terpengaruh.

Ketua Bidang Pengembangan BPRS Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia (Asbisindo), Syahril T. Alam, mengatakan ada banyak faktor yang membuat NPF BPRS naik. Salah satunya bisa karena meningkatnya kuantitas pembiayaan bermasalah.

Berbeda dengan BUS atau UUS yang batas NPF-nya lima persen, NPF tujuh persen untuk BPRS masih dikategorikan baik.  ''Kalau melihat kondisi, kuantitas pembiayaan bermasalah naik, baik pembiayaan produktif maupun konsumtif,'' kata Syahril, Rabu (11/2).

Kemungkinan lainnya adalah BPRS tidak melakukan ekspansi karena likuiditas terbatas. Syahril mengatakan saat pembiayaan yang sudah teralisasi, perubahan suku bunga acuan Bank Indonesia tidak banyak berpengaruh.

Yang berpengaruh pada BPRS adalah bisnis nasabah. Jika bisnis nasabah bermasalah, pengembalian pembiayaan pun turun.

2015 ini asosiasi belum secara spesifik membicarakan langkah bersama yang akan diambil. Tapi asosiasi sudah meminta BPRS menyiapkan langkah antisipasi.

Menghadapi kondisi ekonomi semester pertama 2015 yang diprediksi belum banyak berubah, Syahril melihat patokan pertumbuhan BPRS pun tidak terlalu tinggi sekitar 20-25 persen. Dibandingkan BPRS swasta, BPRS milik pemerintah daerah biasanya lebih kuat saat menghadapi pembiayaan bermasalah karena modalnya lebih besar. Peningkatkan modalnya pun lebih mudah.

Direktur Utama BPRS Sukowati Sragen, Sunaryo mengatakan BPRS yang pangsa pasarnya sektor mikro memang rentan terhadap perubahan. Jaminan memang aman, tapi pembayaran jadi terkendala saat bisnis terganggu.

Ada pula nasabah yang dapat modal usaha, tapi sebagian digunakan untuk investasi. Sehingga saat bisnis terganggu, pembayaran kewajiban juga terganggu. Sementara saat akan menjual aset investasi tidak mudah dan butuh waktu.

Belakangan BUS dan UUS pun masuk sektor mikro. Kalau BUS atau UUS hanya take over, Sunaryo melihat itu tidak masalah. Tapi jika menambah nasabah, maka beban BPRS akan bertambah karena nasabah lebih mengutamakan pembayaran ke BUS atau UUS.

Agar potensi risiko tersebar, BPRS Sukowati tidak hanya memberi pembiayaan mikro, tapi juga pengembang yang butuh modal kerja dengan jangka tidak terlalu panjang. Misalnya untuk pembebasan lahan sebelum mereka dapat pembiayaan BUS atau UUS.

Ini bisa menekan NPF sambil BPRS tetap menagani NPF dengan tetap melakukan penagihan dan pendekatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement