Rabu 04 Feb 2015 22:19 WIB
PMN BUMN

Pengamat: Jangan Asal Beri PMN ke BUMN

Rep: C09/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
 Gedung Kementerian BUMN di Jakarta, Rabu (17/12).  (Antara/Wahyu Putro)
Gedung Kementerian BUMN di Jakarta, Rabu (17/12). (Antara/Wahyu Putro)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengamat ekonomi Universitas Padjajaran, Arif Anshori Yusuf, menyatakan, negara sebaiknya tidak memberikan dana penyertaan modal negara (PMN) ke sembarang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebab, pengucuran dana yang besar akan menimbulkan resiko yang besar bagi pemerintah sendiri.

“Uang Rp 72 triliun jangan main asal dikasih. Negara harus selektif dan harus ada tujuannya, karena bagaimanapun juga uang ini uang rakyat,” kata Arif, saat dihubungi Republika, Kamis (4/2).

Ia menjelaskan bahwa ada dua jenis BUMN yang harus diketahui. Pertama, BUMN yang memiliki kompetitor, yang jika mendapat suntikan dana dari pemerintah pasti menimbulkan resiko yang besar. “BUMN semacam itu akan berpikir untuk apa melakukan efisiensi dana, semua sudah aman karena ada suntikan dana negara,” jelasnya.

Kucuran dana PMN pada BUMN yang memiliki kompetitor, kata dia, dinilai akan membuat perusahaan semakin tidak kompetitif. Sebab, BUMN tersebut tidak akan merasa rugi dan justru masyarakat yang akan merugi.

Jenis BUMN kedua yaitu BUMN yang tidak memiliki kompetitor. Menurut Arif, beberapa BUMN memiliki sifat monopoli ilmiah, artinya secara prinsip, BUMN tersebut hanya satu dan tidak memiliki saingan.

“BUMN jenis ini, tanpa disubsidi negara pun sudah cukup menguntungkan karena tidak ada pesaingnya,” ujar Arif.

Ia mengaku, BUMN dengan sifat monopoli ilmiah, harus selalu diregulasi dengan baik. Sebab, BUMN tersebut cenderung akan mencari untung sebanyak-banyaknya tanpa peduli efisiensi dan harga yang tidak menguntungkan masyarakat.

Oleh karena itu, Arif menyarankan agar Dewan Perwakilan Rakyat dapat menimbang BUMN mana yang layak mendapat PMN. Sembarang memberikan suntikan dana, tambah dia, akan sangat merugikan negara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement