Selasa 03 Feb 2015 18:59 WIB

Ini Kata Pengamat Soal Pengangguran di Thailand 0,56 Persen di Indonesia 7,24 Persen

Rep: Dwi Murdaningsih/ Red: Julkifli Marbun
Pengangguran (ilustrasi)
Pengangguran (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tingkat pengangguran di Thailand pada akhir tahun 2014 sebesar 0,56 persen. Sangat rendah dibandingkan nagka pengangguran di Indonesia yang pada bulan Agustus lalu menyentuh 5,94 persen. Berdsasarkan catatan Badan Pusat Statistika (BPS) pengangguran di Indonesia mencapai 7,24 juta jiwa. Direktur Riset CORE Indonesia M Faisal mengatakan idak apple to apple membandingkan tingkat pengangguran di Indonesia dan di Thailand.

Faisal mengatkan CORE pernah meneliti data pengangguran dari berbagai negara namun stelah dilakukan penelitian lebih mendalam, masing-masing negara menerapkan parameter yang berbeda untuk menentukan definisi pengangguran. Faisal mengatakan peningkatan investasi yang masuk ke Indonesia belum serta merta mengurangi tingkat pengenggura yang ada. Banyak investasi yang secara nominal besar namun penyerapan tenaga kerjanya rendah.

Menurut Faisal, agar penyerapan tenaga kerja sebanding dengan pertumbuhan investasi yang masuk, pemerintah perlu menerapkan mekanisme insentif bagi invesatsi di bidang padat karya. Dia mengtakan industri pakaian, tekstil, garmen, makanan, minuman daya serapnya luar biasa terhadap tenaga kerja sehingga perlu diberi insentif. Insenstif yang diberikan bisa dari sisi pengurangan biaya produksi. Misalnya pengurangan tarif dasar listrik bagi industr padat karya.

"Harus dibedakan yang mana industri prioritas yang mana yang tidak," kata Faisal, saat dihubungi, Selasa (3/2).

Dia mengatakan industri padat karya peru mendapatkan, terutama dalam menghadapi persaingan dari luar. Pun demikian soal upah. Menurut dia, permasalahan upah harus dilihat dari dua sisi yaitu sisi daya beli dan sisi daya saing. Upah untuk pekerja sejalan dengan biaya hidup sehingga pemerintah pelru melakukan intervensi komponen-komponen yang menjadi bagian dari upah. Harga pangan dan biaya akomodasi sehari-hari menurut dia perlu diintervensi sehingga tidak harus selalu harus diberikan oleh pengusaha.

Saat ini, beberapa mekanisme pelrindungan sosial menurutnya bisa meng-cover kebutuhan para pekerja sehingga beban hidup mereka tidak begitu berat. Namun, ia memandang tetap diperlukan adanya mekanisme pengupahan yang memperhatikan faktor pengalaman dan pendidikan.

Ketua Dewan Pertmbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan tenaga kerja memang masih menjadi masalah. Menurutnya, kemiskinan dan tingginya angka penganguran merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintahan yang baru. Untuk mengentaskan pengangguran, menurut Sofjan perlu ada introspeksi baik dari pemerintah maupun para pekerja. Dia mengatakan jika ingin menyelesaikan masalah pengangguran, pemerintah pelru memberkan insentif terhadap investasi padat karya, disamping di bidang pertanian.

Sementara ini, kata Sofjan, masalah pengangguran bisa sedikit teratasi dengan maraknya proyek-proyek pembangunan infrastruktur selama lima tahun mendatang. Menurutnya, proyek-proyek itu akan menyerap banyak tenaga kerja. Di sisi lain, serikat pekerja juga perlu melakukan investasi agar tidak setiap tahun tidka terjadi aksi demontrasi untuk menuntut kenaikan upah.

Sofjan berpendapat kenaikan upah harus didasari oleh inflasi dan kenaikan produktivitas, bukan semata-mata demonstrasi. Jika hal ini berlangsung terus menerus, ia khwatir inevstasi padat karya akan kabur sehingga pengangguran juga akan semakin meningkat.

"Kita selama lima tahun bisa kasih kerjaan melalui proyek-proyek infrastruktur tapi setelah itu nggak bisa," kata Sofjan.

Untuk mendorong penyerapan tenaga kerja, menruut dia pemerintah harus memberikan insnetif terhadap industri-industri hulu. Ketika industri hulu seperti petrokimia sudah ada di Indonesia, untuk membangun industri hilir akan lebih mudah sehingga penyerapan tenaga kerja akan lebih baik. Di sektor perpajakan, menurutnya, pemerintah juga perlu menurunkan PPH sehingga bisa menarik investasi. Pajak yang dikenakan bisa dikembalikan dalam bentuk investasi baru.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement