Selasa 27 Jan 2015 10:57 WIB

Ekonom: Pemeritah tidak Tegas Hadapi Freeport

An aerial view of a giant mine run by US firm Freeport-McMoran Cooper & Gold Inc., at the Grassberg mining operation, in Indonesia's Papua province. (file)
Foto: Reuters/Stringer
An aerial view of a giant mine run by US firm Freeport-McMoran Cooper & Gold Inc., at the Grassberg mining operation, in Indonesia's Papua province. (file)

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Ekonom dari Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, Ahmad Erani Yustika menilai pemerintah dinilai tidak tegas dalam menghadapi PT Freeport. Hal itu ditunjukan melalui perpanjangan kerja sama dengan perusahaan tersebut

"Perpanjangan kontrak kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan PT Freeport untuk durasi enam bulan ke depan seharusnya tak perlu dilakukan karena banyak hal yang diingkari oleh perusahaan asing yang mengeksplorasi tambang emas di Papua ini," katanya di Malang, Selasa (27/1).

Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UB itu mengatakan hingga saat ini PT Freeport belum juga membangun smelter di Papua, padahal kewajiban itu seharusnya sudah direalisasikan sejak lima tahun lalu. Bahkan, pembayaran royalti pun juga tidak terpenuhi dan sering mengalami keterlambatan.

Erani melanjutkan, jika mengacu pada kondisi itu seharusnya pemerintah bersikap tegas. Perusahaan manapun yang tidak taat aturan harusnya ditindak tegad, tak terkecuali PT Freeport, bahkan perpanjangan kontrak yang baru ditandatangani itu, seharusnya tak perlu dilanjutkan.

Ia mengakui kebijakan yang diambil pemerintah memperpanjang kontrak kerja dengan PT Freeport tersebut disesalkan banyak kalangan karena dampaknya sangat luas bagi negara. Menyinggung perusahaan-perusahaan pertambangan lainnya yang beroperasi di Indonesia, Erani menyatakan banyak yang tidak taat peraturan.

Di bidang perminyakan saja, katanya, puluhan perusahaan yang tidak taat aturan, belum lagi perusahaan besar dan kecil yang bergerak di bidang sumber daya alam lainnya, seperti batubara, gas, alumunium, dan timah.

Ia mencontohkan di bidang pertambangan, dari sekitar 11 ribu izin pertambangan yang dikeluarkan pemerintah, hanya sekitar dua ribu yang taat membayar pajak. "Praktik-praktik seperti itu masih belum tersentuh pengusutan dari penegak hukum," ujarnya.

Oleh karena itu, ia menginginkan pemerintah atau pihak manapun tidak sampai melakukan pelemahan terhadap fungsi para penegak hukum, termasuk lembaga khusus yang menangani korupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan, katanya, kalau bisa, KPK harus masuk ke ranah yang merugikan negara lebih besar.

"Seluruh penegak hukum harusnya didorong untuk menyentuh praktik-praktik korupsi yang lebih besar, tidak saja KPK, tapi juga penegak hukum lainnya, sehingga pemberantasan korupsi di Tanah Air ini benar-benar terwujud," katanya.

Belum lama ini Kementerian ESDM sepakat memperpanjang pembahasan amandemen kontrak hingga enam bulan ke depan denga alasan ada fokus-fokus tambahan dalam nota kesepahaman yang baru tersebut, di antaranya memperbesar benefit dari PT Freeport.

Selain itu, perusahaan tersebut harus bertanggung jawab terhadap pembangunan industri di Papua, yakni membangun industri hilir berbasis tembaga karena lebih mudah ketimbang PT Freeport membangun smelter.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement