REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kementerian Keuangan berencana menambah jumlah penarikan pinjaman luar negeri pada Rancangan APBN Perubahan (RAPBNP) 2015. Ini dilakukan karena ruang fiskal sebesar Rp 230 triliun tak cukup membiayai berbagai proyek pembangunan infrastruktur yang menjadi prioritas kerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai cukup wajar pemerintah ingin menambah utang. Sebab, terjadi kenaikan belanja Kementerian/Lembaga dalam draf struktur RAPBNP 2015 untuk program prioritas seperti pembangunan infrastruktur.
"Sayangnya peningkatan pengeluaran ini tidak dibarengi dengan penerimaan. Penerimaan negara turun sehingga harus mencari akal untuk pembiayaan," kata Faisal kepada Republika, Selasa (20/1).
Berdasarkan draf RAPBNP 2015 yang diajukan pemerintah kepada DPR RI, belanja Kementerian/Lembaga (KL) naik menjadi Rp 779,5 triliun dari yang telah ditetapkan di APBN 2015 sebesar Rp 647,3 triliun. Namun secara total, belanja pemerintah mengalami penurunan sebesar Rp 61,7 triliun atau menjadi Rp 1.330 triliun dari sebelumnya Rp 1.392 triliun.
Penurunan ini karena menyusutnya anggaran belanja non-KL yang selama ini bengkak akibat subsidi bahan bakar minyak (BBM). Sekarang, belanja non- K/L turun menjadi Rp 551,2 triliun dari Rp 745,1 triliun.
Faisal mengatakan penerimaan negara mengalami penurunan dari sektor migas karena merosotnya harga minyak dunia.
"Jadi saya rasa ini sebenarnya polemik. Penerimaan turun, tapi pemerintah harus mencari sumber untuk membiayai pembangunan infrastruktur," dia mengatakan.
Sekadar informasi tambahan, pemerintah pun telah menurunkan target PPh migas dari Rp 88,7 triliun menjadi Rp 50,9 triliun.