Kamis 15 Jan 2015 15:45 WIB

Industri Listrik Masih Bergantung Impor dari Cina

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Petugas melakukan pemeriksaan rutin di Pembangkit Listrik Tenaga Uap dan Gas (PLTGU) Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (4/9).(Republika/Prayogi)
Foto: Republika/Prayogi
Petugas melakukan pemeriksaan rutin di Pembangkit Listrik Tenaga Uap dan Gas (PLTGU) Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (4/9).(Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri barang modal dalam negeri telah memiliki kemampuan dalam pembangunan infrastruktur tenaga listrik. Sektor industri ini dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung program pemerintah dalam rangka membangun energi listrik sebesar 35 ribu MW selama lima tahun mendatang.  

Direktur Industri Permesinan dan Alat Mesin Kemenperin, Teddy C Sianturi mengatakan, industri barang modal dalam negeri baru bisa mengasilkan energi listrik di bawah 35 MW. Sedangkan, untuk proyek tenaga listrik 10 ribu MW Tahap I dan II masih relatif rendah yakni sekitar kurang dari 20 persen.

"Masih banyak produk sejenis yang di impor dari Cina dengan harga lebih murah, khususnya mesin atau peralatan energi," ujar Teddy di Jakarta, Kamis (15/1).

Industri barang modal dalam negeri yang sudah mampu dibangun antara lain turbin kapasitas sampai dengan 27 MW, generator sampai dengan 10 MW, boiler kapasitas sampai dengan 660 MW, dan Transformator sampai dengan 550 kVA. Teddy mengatakan, industri barang modal dalam negeri, khususnya sektor peralatan energi memiliki potensi dalam memenuhi kebutuhan infrastruktur listrik.

Akan tetapi, sektor tersebut masih memiliki hambatan yakni tarif bea masuk industri hulu, menangah, dan hilir yang belum harmonis. Selain itu, ada ketidakpercayaan investor asing untuk menggunakan mesin atau peralatan dalam negeri dengan alasan Quality, Cost, Delivery (QCD). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement