Rabu 07 Jan 2015 09:32 WIB

Premium Turun, Pemerintah Untung Banyak

Tahun 2015 Premium Tidak Bersubsidi: Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di SPBU, Jakarta, Jumat (19/12).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Tahun 2015 Premium Tidak Bersubsidi: Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di SPBU, Jakarta, Jumat (19/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Komisi VI DPR, Hafisz Tohir, menjelaskan seharusnya harga BBM premium tidak sampai Rp 7.600. Harga sebanyak itu dinilainya menjadi bukti pemerintah banyak mengambil untung dari penjualan BBM.

“Seharusnya hanya Rp 6 ribu,” ujar Hafisz yang juga menjadi ketua DPP PAN ini, kepada ROL, Rabu (7/1). Sedangkan biaya produksi kurang dari Rp 6 ribu. Subsidi BBM juga dikurangi menjadi Rp 900 perliternya. Pemerintah diprediksinya mendapat keuntungan ratusan triliun rupiah.

Menurutnya, hal ini menjadi bentuk permainan pemerintah terkait harga BBM. “Ini sama saja dengan tindakan memindahkan beban fiskal yang berat kepada pundak rakyat,” imbuhnya. Hafisz menegaskan harga BBM tidak bisa diserahkan ke pasar. Tetap harus ada intervensi pemerintah didalamnya agar kebutuhan hajat hidup orang banyak dapat dijangkau. Jangan sampai pemerintah melanggar Pasal 33 UUD 1945.

Kalaupun harga BBM benar-benar diserahkan ke pasar bebas, seharusnya bea produksi tetap tidak mencapai Rp 6 ribu. “Karena minyak dunia saat ini sedang turun harganya,” imbuh Hafisz.

Dia menjelaskan, tampak sekali pemerintah memainkan harga BBM. "Harga BBM diturunkan Rp 900 per liter, tapi harga elpiji 12 kg dinaikkan Rp1.500 per Kg atau menjadi sekitar Rp160.000,” imbuhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement