REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fluktuasi harga premium di tengah pencabutan subsidi BBM diprediksi bakal menambah jumlah orang miskin baru. Pasalnya, sekitar 24 persen masyarakat yang layak subsidi akan kehilangan bantuan di tengah sisanya yang memang dinilai tidak layak terima subsidi.
"Akan terasa ketika harga minyak tinggi, misalnya ketika harganya mencapai 80 dolar per barrel," kata Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies Marwan Batubara kepada ROL pada Ahad (4/1). Maka, sepanjang pemerintah belum memiliki sistem subsidi langsung kepada yang tidak mampu secara obyektif dan dapat dipercaya, harus tetap ada subsidi.
Dikatakannya, pola subsidi langsung untuk BBM harus tetap ada, misalnya dalam bentuk BLT atau BLSM. Tapi tetap bantuan tersebut tak boleh tumpang tindih dengan bantuan yang lainnya. Misalnya Presiden Joko Widodo dengan program kartu pintar, cerdas dan sehat sejahtera.
Alih-alih menyejahterakan, kebijakan tersebut justru menurutnya malah kerap dicurigai sebagai pencitraan politik. Sejak awal ia mempertanyakan soal pencabutan subsidi tersebut.
"Kalau soal pola floating setiap bulan ini masih kita maklumi, tapi pencabutan subsidi belum tepat," ujarnya. Harusnya, pencabutan subsidi dilakukan namun ada pengecualian yakni bagi orang-orang yang tidak mampu termasuk untuk sektor transportasi dan angkutan barang yang menggunakan premium.
Ia juga mengingatkan agar sebelum memutuskan mencabut subsidi, seharusnya sudah terlebih dahulu percaya diri membangun sistem transportasi publik secara masif. Jangan sampai ketika semua orang dicabut subsidinya, tapi transportasi publik yang murah publik tidak memadai atau tidak tersedia.