Jumat 19 Dec 2014 01:00 WIB

Cabut Subsidi, Pertamina: Kalau Ada SPBU Kosong, Jangan Salahkan Kami

Rep: C85/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pengguna kendaraan bermotor antre untuk membeli premium di salah satu SPBU di Jakarta Pusat, sebelum kenaikan harga BBM bersubsidi, Senin (17/11).
Foto: Antara/Fanny Octavianus
Pengguna kendaraan bermotor antre untuk membeli premium di salah satu SPBU di Jakarta Pusat, sebelum kenaikan harga BBM bersubsidi, Senin (17/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Rencana pencabutan subsidi BBM jenis premium tidak serta merta disetujui oleh Pertamina. Direktur Pemasaran dan Perdagangan Ahmad Bambang meminta pemerintah untuk mempertimbangkan banyak hal terkait rencana ini.

Salah satu poin yang Bambang sorot adalah kebenaran harga premium non-subsidi. "Apa betul kalau tidak subsidi harganya dibawah Rp 8500 perliter, karena tentu saja pelaku pasar akan menambah keuntungan," jelas Bambang kepada Republika, Kamis (18/12).

Selain itu, Bambang melanjutkan, pemerintahjuga harus memberlakukan keadilan antar negara. Ia beralasan selama ini Pertamina sulit membangun SPBU di negara lain. Sementara pesaing Pertamina begitu mudah membuka di Indonesia.

"Semestinya para pemain/pesaing pertamina harus pula melakukan usaha di daerah remote dan mempunyai stock di tangki timbunnya sendiri sehinggga pemerintah tidak membebankan stock nasional hanya ke Pertamina saja," ucap dia. Selain itu yang lebih penting jika ada SPBU kosong, maka jangan lagi Pertamina yang disalahkan.

Mengingat, ucap dia, biaya produksi kilang Pertamina masih lebih tinggi akibat kurang canggih. Maka agar bisa bersaing kemungkinan Pertamina akan mengimpor serta menekan inventory/stock. Hal ini jelas mengakibatkan ketahanan energy menjadi lebih rawan serta terjadinya pengangguran akibat berhentinya kilang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement