REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA—Sebuah pertarungan moneter yang besar antara Cina dan Amerika Serikat (Chimerica) ternyata ikut mempengaruhi penguatan nilai mata dolar AS serta geopolitik dunia.
“Permainan pricing makin mudah dipahami dan efeknya mematikan bagi negara yang tak memahami karena sifatnya abstrak dan mematikan ditambah dengan kecanggihan teknologi yang mengeksploitasi manusia," jelas Direktur Pusat Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia Suzie Sudarman dalam focus group discussion bertajuk Chimerica: Geopolitik Makroekonomi Global Kontemporer Melampaui Defisit, Rabu (17/12).
Pendapat Suzie ini pun diperkuat oleh peneliti Purusha Research Cooperative Hizkia Yosie Polimpung yang berargumen bahwa strategi geopolitik global sangat dipengaruhi kapitalisme finansial. Terutama melalui alat manufaktur antarnegara serta kecanggihan teknologi.
“Inilah bentuk teater perang ekonomi di antara negara Amerika dan Cina serta negara-negara berkembang lainnya di selatan. Inilah perang moneter global saat ini,” jelas Yosie.
Ekspansi Cina tersebut sebagian besar dilakukan melalui Asia Tenggara dan di Afrika berupa investasi sumber daya, kemudian menghubungkan semua negara agar ada keberikatan dengan Cina.
Yosie juga melihat, penguatan dolar Amerika sebagai keberhasilan bentuk kebijakan New Deal kontemporer dan buyback obligation. Maka, ia mendefinisikan kembali Chiamerica sebagai bentuk saling keterikatan dalam perang moneter.
Ia mencontohkan, perkembangan terakhirnya, Cina berusaha tak ingin melepas obligasi yang dibeli dari AS. Supaya perekonomian Cina mempunyai kuncian dalam mengatur persaingannya dengan AS.
Di sisi lain, Yosie mencatat, sejak tahun 2012, konsumerisme di Cina meningkat dan muncul kelas menengah baru.
"Sementara hegemoni AS malah ditopang oleh hutang," jelas Yosie.
Dari pertumbuhan ekonomi yang berbasis hutang itu, muncul krisis finansial AS medio tahun 2006 yang berdampak global untuk melahirkan kekuatan Chimerica.
Suzie kembali menegaskan, persaingan antara AS dan Cina terlihat jelas di sektor merebut pasar sekaligus konsumennya. Hanya saja, menurutnya, AS mulai jenuh dengan persaingan moneter saja.
Kemudian, negara adidaya ini kembali ke sifat dasarnya di zaman kolonial dengan berkecimpung di sektor agrikultur. Kemudian diakselerasi dengan teknologi tinggi yang bersifat mudah kedaluwarsa.