REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Industri hulu migas kerap dituntut untuk menaikkan besaran dana bagi hasil migas untuk daerah. Tuntutan ini sering dialamatkan kepada SKK Migas dan perusahaan migas yang menjadi Kontraktor KKS proyek hulu migas. Tepatkah?
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS), seperti PT Pertamina EP, PT Chevron Pacific Indonesia, dan masih banyak lagi, melakukan kerja sama dalam eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi (migas).
Istilah bagi hasil memang juga dikenal pada proses ini. Namun, bagi hasil di sini bukanlah distribusi penerimaan negara untuk daerah, tapi bagi hasil migas dalam lingkup pelaksanaan Kontrak Bagi Hasil Hulu Migas (Production Sharing Kontrak), yaitu pembagian lifting migas (produksi migas yang terjual) antara pemerintah dan Kontraktor KKS sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak.
Pada fase ini, SKK Migas dan Kontraktor KKS berkonsentrasi pada upaya mengoptimalkan lifting pada masing-masing wilayah kerja. Tugas SKK Migas dan Kontraktor KKS selesai setelah lifting migas berhasil dikomersialisasikan dan uang yang dihasilkan dari penjualan migas disalurkan ke rekening pemerintah.
Hasil bisnis negara ini disetorkan langsung ke negara melalui rekening Menteri Keuangan. Jadi, tidak ada hasil penjualan migas yang mampir ke rekening SKK Migas.
Bagi hasil yang banyak disorot daerah sebenarnya adalah bagi hasil pada tahapan selanjutnya, yaitu bagaimana pemerintah membagi-bagi dana yang diterima dari industri hulu migas kepada pemerintah daerah penghasil migas dan nonpenghasil migas. Pada proses ini, beberapa instansi pemerintah terlibat.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bertugas membagi lifting migas per provinsi dan per kabupaten/kota. Kementerian ESDM akan menggunakan laporan lifting per Kontraktor KKS yang dilaporkan SKK Migas sebagai bahan pembanding dan alat kontrol ketika melakukan evaluasi lifting per daerah penghasil. Setelah melewati proses review dan evaluasi, Kementerian ESDM akan mengeluarkan Keputusan Menteri ESDM tentang alokasi lifting per daerah penghasil migas.
Proses lain berlangsung di Kementerian Keuangan. Kementerian ini akan memverifikasi laporan lifting yang diterima dari SKK Migas setiap bulan untuk memastikan bahwa uang yang diterima di rekening Kementerian Keuangan di Bank Indonesia sama besarnya dengan yang dilaporkan SKK Migas. Bila laporan itu sudah terverifikasi, maka Kementerian Keuangan akan melakukan penghitungan penerimaan negara bersih per Kontraktor KKS.
Laporan penerimaan negara bersih per Kontraktor KKS ini bersama dengan laporan lifting per daerah penghasil dari Kementerian ESDM kemudian diolah oleh Kementerian Keuangan, sehingga diperoleh dana bagi hasil yang selanjutnya akan dialokasikan kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah penghasil, dan pemerintah daerah nonpenghasil migas. Pengalokasian dana bagi hasil ini dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan.
Dasar pemerintah dalam membagi persentase dana bagi hasil migas adalah Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Regulasi ini mengatur bahwa penerimaan minyak bumi, setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lain, dibagi dengan imbangan 84,5 persen untuk pemerintah pusat dan 15,5 persen untuk daerah.
Dari angka 15,5 persen ini, sebesar 0,5 persen dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar pada daerah bersangkutan. Sisanya, sebesar 15 persen dibagi dengan rincian: 3 persen untuk provinsi; 6 persen untuk kabupaten/kota penghasil; dan 6 persen untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Khusus untuk penerimaan gas bumi, pembagiannya adalah 69,5 persen untuk pemerintah pusat dan 30,5 persen untuk daerah. Lalu, sebesar 0,5 persen dari hak daerah ini akan dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar pada daerah bersangkutan. Sisanya, sebesar 30 persen dibagi dengan rincian: 6 persen untuk provinsi; 12 persen untuk kabupaten/kota penghasil; dan 12 persen untuk kabupaten/kota lain.
Dari penjelasan ini dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, SKK Migas dan Kontraktor KKS tidak memiliki kewenangan mengelola pembagian dana bagi hasil ke daerah. Kedua, setiap instansi pemerintah yang terlibat dalam proses ini bekerja berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.
Aspirasi daerah untuk meningkatkan hasil migas yang mereka terima tentu perlu dihargai. Namun, semua pihak tentu berharap, jangan sampai penyaluran aspirasi ini mengganggu kegiatan operasi hulu migas yang dapat mengancam penerimaan negara. Karena pada akhirnya terganggunya kegiatan operasi hulu migas secara langsung juga akan mengancam penerimaan daerah bersangkutan dari dana bagi hasil migas. adv