REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Setelah disahkan, Undang-Undang no 39 tahun 2014 tentang Perkebunan melangkah pada tahap sosialisasi. Dimana juga akan dilakukan penggodokan tentang peraturan turunannya dalam jangka waktu kurang dari setahun.
Namun, tak seperti tertuang dalam draf terakhir, yakni pasal 95 ayat 3 tentang penanaman modal, penanaman modal asing yang dibatasi sampai 30 persen dari seluruh modal perusahaan perkebunan tak dicantumkan. "Penanaman modal asing akan diperjelas dalam Peraturan Pemerintah (PP)," kata Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir dalam acara sosialisasi UU perkebunan yang berlangsung pada Rabu (10/12).
Alasannya, besaran pembatasan modal asing harus diatur berdasarkan jenis tanaman perkebunan dan skala usaha tertentu. Tidak disebutkan angka eksplisit di Undang-Undang, agar sifatnya menjadi fleksibel, menyesuaikan dengan kepentingan nasional dan perkebunan.
Penjelasan lebih lanjut di PP, kata dia, agar tidak terjadi salah tafsir dalam memaknai UU di tengah banyaknya investor asing yang menanamkan modalnya di komoditas perkebunan. Berdasarkan data Kementan, lahan perkebunan yang telah dibuka di Indonesia seluas 22 juta hektar.
Lahan perkebunan terbanyak ialah perkebunan sawit yakni seluas 10,2 hektar. Sementara, dominasi kepemilikan perkebunan oleh rakyat ayau pekebun sebanyak 40 persen. Sisanya dimiliki BUMN dan gabungan pengusaha swasta dan asing.
Sebelumnya, perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat yang concern di bidang Sawit, Mario mempertanyakan soal tidak disebutkannya pembatasan modal asing hingga 30 persen dalam UU. Padahal, dalam draf terakhir sebelum disahkan, yakni pada Juni 2014, pembatasan tersebut masih ada.
"Kami takut hal tersebut disebabkan ada tekanan dari kelompok pengusaha untuk menghilangkannya," ujar dia.