REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Upaya pemerintah untuk menekan ilegal logging dengan memberlakukan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) tak boleh memberatkan Industri Kecil dan Menengah (IKM). Alih-alih menyoroti pelaku industri, pemerintah seharusnya bisa menyelesaikannya dengan melakukan pendekatan hukumya yang tegas.
"Jangan sampai memborgol diri sendiri dan dipaksakan merusak devisa," kata Ketua Umum Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) Seonoto dalam konferensi pers yang berlangsung pada Senin (8/12). Penegakkan hukum yang tegas dengan aparat yang tersedia harusnya dapat menekan pembalakan liar.
IKM, lanjut dia, merupakan bantalqn besar perekonomian yang di dalamnya bergantung banyak tenaga kerja. Jika SVLK dipaksakan berlaku dengan subsidi pemerintah, misalnya, akan sangat besar biaya yang dikeluarkan setiap tahun secara rutin.
Wakil Ketua Umum AMKRI Rudi Halim m3nambahkan, niatan pemberlakuan SVLK yakni melindungi kayu dengan semangat go green mesti diapresiasi. Makamnya, strategi yang digunakan seharusnya dengan menggiatkan program penanaman kembali pohon, agar ketersediaan kayu untuk kebutuhan mebel cukup dan SVLK tak perlu berlaku.
"Yang harusnya disederhanakan jangan makah dibuat rumit," tegasnya. Diutarakannya, berhentilah menggulirkq program menanam pohon, jika hanya sekadar retorika belaka. Program harus dibarengi penjelasan soal manajemennya, jenis pohon yang ditanam seperti apa, dan bibitnya disediakan.
Kepada masyarakat, pemerintah juga mesti serius memberikan apresiasi kepada mereka yang membantu menanam. Jika program berjalan baikm maka jaminan produksi mebel akan aman. Sampai saat ini, kata dia, produsen furniture skala besar memakai 90 persen kayu yang diimpor dari Malaysia dan Thailand.
Sebabnya, bahan kayu dalam negeri tidak tersedia. "Ini menjadi kontra dengan negara yang sedang berupaya menghemat devisa karena devisit perdagangan," katanya.