REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekpsortir rupanya tidak diuntungkan dengan pelemahan rupiah. Sekretaris Jendral Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) mengatakan elemahan rupiah hanya dirasakan oleh eksprtir yang bahan baku lokalnya tinggi. Misalnya perusahaan furniture.
Namun, tingginya inflasi menyebabkan biaya produksi menjadi meningkat. “Kalau dulu 1 juta dollar dapatnya 10 miliar, sekarang bisa dapat lebih, tapi inflasi naik, jadi hampir sama saja,” ujar Toto, saat dihubungi, Kamis (4/12)
Hal serupa juga dialami oleh eksportir barang-barang yang komponen bahan impornya masih tingg. Misalnya, eksportir sepatu. Banyak bahan baku produk sepatu yang masih diimpor. Artinya eksportir juga harus membayar bahan baku yang lebih mahal. Ditambah lagi dengan kondisi pasar yang masih melemah.
Kendati pasar ekspor masih melemah, menurut Toto eksportir tidak lantas mengalihkan produknya menuju pasar dalam negeri. Pasalnya, pasar dalam negeri sudah terlanjur dibanjiri dengan produk impor yang lebih murah. Alhasil, ekpsortir tetap melakukan ekspor meskipun kondisi pasar masih cukup lesu.
Toto berharap pemerintah bisa menjaga rupiah di level Rp 11.500-12.000 agar ekspor tetap kompetitif. Secara akumulatif ekspor non migas Indonesia hingga bulan Oktober mencapai 122,19 miliar Dolar AS. Sementara impor non migas mencapai 113, 10 miliar.
Hingga bulan Oktober, pergangangan non migas surplus 9,1 miliar Dollar AS. Dia memperkirakan hingga akhir tahun surplus non migas bisa mencapai 9,5-10 miliar Dollar. Saat ini eksportir sdang menghabiskan stok produksi hingga akhir tahun.