REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Industri sawit telah menjadi pilar penting perekonomian Indonesia. Hal ini tergambar dari sumbangan minyak sawit yang surplus setiap tahunnya dan telah menyelamatkan neraca perdagangan Indonesia yang defisit sejak pertengahan 2011.
Sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia menjadi pusat perhatian di pasar global minyak nabati dunia. Indonesia saat ini telah menguasai 38 persen pangsa pasar minyak nabati dunia.
Namun ada satu hal yang masih menjadi catatan penting bagi pemerintah. Daya saing yang rendah, menjadi penghambat industri sawit untuk melesat maju. Hal ini diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono di Jakarta, Kamis (6/11).
"Kita harus terus memperbaiki daya saing kita, kompetitor bukan lagi Malaysia tp minyak nabati lain," ujarnya kepada Republika. Joko mengaku bahwa justru isu tentang orang utan yang dihembuskan oleh Uni Eropa menjadi isu yang harus dilawan.
GAPKI menjelaskan, skenario pelemahan industri sawit kira-kira mirip. Dimulai dari pelemahan daya saing sehingga lama kelamaan produk sawit makin kurang efisien. Upaya pelemahan oleh kompetitor sawit melalui berbagai cara, kampanye antisawit oleh LSM, kampanye negatif menggunakan media global sampai bentuk hambatan perdagangan (non-tariff barier) di negara Eropa dan Amerika sedikit banyak telah membuahkan hasil.
Salah satu indikatornya adalah selisih harga minyak sawit dan minyak pesaingnya yang semakin menyempit. Hari ini, selisih premium atas minyak kedelai terhadap sawit pernah mencapai sekitar 90 dolar AS per ton, padahal 10 tahun lalu selisih premium kedelai atas minyak sawit bisa mencapai 200 dolar AS per ton.
Selain itu faktor lain yang memengaruhi adalah adanya gempuran serangan antisawit yang berujung ada biaya tambahan (additional cost) akibat tambahan tarif dan sertifikasi (no tariff). "Pekerjaan rumah paling besar adalah buruknya infrastruktur di dalam negeri,"ujar Joko.
Joko menambahkan salah satu tugas pemerintahan yang baru adalah mendorong agar Indonesia identik dengan sawit. "Malaysia sudah identik dengan sawit. Indonesia harus identik dengan sawit," lanjutnya. Hal ini menurut Joko, dapat meningkatkan daya saing Indonesia.
Joko menilai, harga sawit akhir tahun ini sudah tidak akan melebihi harga tertinggi tahun lalu. "Produksi kita ada kenaikan dibanding tahun lalu. Tapi ekspor kita tahun ini sebenarnya tidak terlalu bagus," jelas Joko.
Sampai September tahun ini nilai ekspor Indonesia baru 99 persen dibanding tahun lalu. Total ekspor tahun lalu senilai 19,7 juta ton. "Jadi tahun ini sedikit di bawahnya lah," jelasnya. Dengan sisa waktu yang ada tahun ini, Joko tidak menjanjikan berapa kisaran harga yang bisa dicapai nanti.
Penurunan produksi juga terjadi di akhir tahun ini. Menurut catatan GAPKI, bulan September dan Oktober tahun ini kematangan sawit belum maksimal. Hal ini dikarenakan oleh musim kemarau atau El Nino yang datang lebih panjang. "Biasanya sudah masuk panen puncak," jelas Joko. Penurunan produksi juga terjadi di Malaysia. Joko sendiri menghimbau agar faktor cuaca ini menjadi perhatian pemerintah.
Selain itu, harga minyak dunia yang sedang stagnan di posisi 80 dolar AS per barel, turut memengaruhi perkembangan minyak nabati. Seperti di India, saat ini lebih senang mengimpor minyak kedelai dibanding impor minyak sawit. "India lebih senang mengolah sendiri minyak kedelainya," kata Joko.
Joko sekali lagi meminta kepada pemerintahan Jokowi untuk fokus kepada peningkatan daya saing, di samping perbaikan infrastruktur. Luas lahan CPO Indonesia seluas 10 juta hektar merupakan modal besar untuk memaksimalkan potensi sawit Indonesia.