Ahad 02 Nov 2014 18:21 WIB

Sebelum Menaikkan BBM, Transparansi Biaya Pokok Produksi Harus Dilakukan

Rep: C85/ Red: Erdy Nasrul
Aksi Menolak Kenaikan Harga BBM
Foto: Antara
Aksi Menolak Kenaikan Harga BBM

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Isu kenaikan BBM semakin hangat akhir-akhir ini. Terlebih setelah Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Sofyan Djalil menyatakan bahwa pemerintah akan menaikkan BBM sebelum 1 Januari 2015.

Besaran kenaikannya digadang-gadang sebesar Rp 3000,-, sebuah angka yang dinilai tinggi oleh sejumlah kalangan. Namun ada beberapa hal yang justru harus dilakukan sebelum pemerintah secara resmi menaikkan harga BBM.

Pengamat energi Marwan Batubara mengungkapkan, pemerintah harus melakukan tata niaga perusahaan dan "pembersihan" mafia migas sebagai langkah awal kenaikan BBM. Marwan lebih memilih untuk menerapkan subsidi langsung yang disesuaikan dengan harga perekonomian migas.

"Selain itu, transparansi biaya poko produksi harus dilakukan oleh pemerintah. Siapa tahu memang tidak perlu subsidi," lanjut Marwan. Namun bila memang dinaikkan, dia tidak menampik pentingnya bantuan langsung seperti BLT untuk menambal kesulitan ekonomi pasca kenaikan BBM.

Perihal angka kenaikan, Marwan menyarankan agar pemerintah tidak langsung memasang angka maksimal, 3000 rupiah. "Bisa dilakukan bertahap kan. Kalau langsung 3000, yang miskin bakal miskin sekali. Yang setengah miskin bakal jatuh miskin," jelas Marwan.

Hal senada juga disampaikan oleh pengamat energi Komaidi Notonegoro. Dia menilai, kenaikan harga BBM bak dua sisi mata uang. "Kalau dilihat dari aspek fiskal, kenaikan BBM adalah solusi. Ketahanan ekonomi juga bagus. Tapi kalau dilihat dari daya beli masyarakat, maka tentu kenaikan BBM bukanlah pilihan terbaik," ujarnya saat dihubungi Republika, Ahad (2/11).

Komaidi menambahkan, angka kenaikan sebesar 1500 - 2000 rupiah dianggap jalan tengah untuk kenaikan BBM. "Tidak terlalu membebani masyarakat. Fifty-Fifty lah," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement