Selasa 07 Oct 2014 23:54 WIB

HNSI: 21 Juta Nelayan Indonesia Hidup Dalam Lilitan Rentenir

Rep: Ita Nina Winarsih/ Red: Ichsan Emerald Alamsyah
Seorang nelayan terlelap di kapalnya yang berlabuh di pantai utara daerah Eretan, Indramayu, Jawa Barat, Selasa (26/8).Akibat langka BBM jenis solar di jalur pantai utara,para nelayan tidak melaut.
Seorang nelayan terlelap di kapalnya yang berlabuh di pantai utara daerah Eretan, Indramayu, Jawa Barat, Selasa (26/8).Akibat langka BBM jenis solar di jalur pantai utara,para nelayan tidak melaut.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) sangat kecewa dengan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengambang soal masalah kredit bagi nelayan. Pasalnya, lembaga pemerintah itu tak berani menginstruksikan perbankan untuk membantu masalah nelayan tersebut.

Padahal, dari 37 juta nelayan yang ada 21 juta di antaranya hidup dalam lilitan lintah darat (rentenir). Ketua Energi Sarana dan Prasarana HNSI, Siswaryudi Heru, mengatakan, sejak lama nelayan Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan.

Seharusnya, ada upaya dari pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir ini. Minimal, kehidupan mereka bisa meningkat. Yakni, berada di garis kemiskinan.

"Salah satu upayanya meningkatkan kehidupan nelayan ini sangat sederhana, yakni dengan memberikan pinjaman modal," ujarnya, kepada ROL, dalam forum diskusi lembaga pembiayaan dan pelaku usaha perikanan, Selasa (7/10).

Akan tetapi, sampai saat ini tidak ada yang berani memberikan jaminan pinjaman terhadap nelayan tersebut. Termasuk OJK dan perbankan. Padahal, pinjaman nelayan itu tidak besar. Antara Rp 5-10 juta. Pinjaman tersebut, diperuntukan bagi modal usaha. Yaitu, untuk pembelian bahan bakar minyak (BBM).

Karena, 60 persen dari total biaya produksi nelayan tersedot untuk BBM. Sedangkan, subsidi BBM dari pemerintah sebagian besar tak dinikmati nelayan. Nelayan di Indonesia bagian barat dan tengah, selalu membeli BBM di atas harga ketentuan pemerintah. Yakni, sekitar Rp 8.000 per liter.

Belum lagi nelayan di wilayah Indonesia timur, yang bisa membeli BBM dengan harga Rp 30 ribu per liter. Tapi, dengan kondisi ini tetap saja tak ada perbankan yang mau memberikan pinjaman kepada nelayan.

"Seharusnya, OJK lebih tegas lagi dalam menginstruksikan ke perbankan untuk bersedia membantu nelayan," ujarnya.

Namun, pada kenyataannya kebijakan OJK hanya mengambang. Bahkan, lembaga otoritas ini sekedar mendorong untuk terbentuknya kemitraan antara perbankan, pengusaha, dan nelayan. Selanjutnya, meminta perbankan untuk pro aktif dalam merangkul nelayan.

Serta, mendukung usulan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia guna membentuk kelompok kerja di sektor kelautan dan perikanan. "Kami sangat kecewa dengan kebijakan OJK yang tidak tegas ini," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement