Rabu 17 Sep 2014 01:08 WIB

Kenaikan Cukai Picu Pengangguran

Direktur Institute for Developement of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati (kanan).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Direktur Institute for Developement of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan cukai rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang akan dilakukan oleh pemerintah pada 2015 akan memicu menjamurnya rokok ilegal dan banyaknya jumlah pengangguran di Indonesia.

Direktur Institute for Developement of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, mengatakan SKT harus mendapatkan perlakuan khusus karena memiliki beban tenaga kerja. "SKT selama ini telah membantu pemerintah menekan pengangguran," katanya di Jakarta, Selasa (16/9) malam.

Menurut Enny, kenaikan cukai rokok mungkin tidak dapat dihindarkan untuk membantu penerimaan negara, namun kenaikan tersebut lebih cocok diterapkan kepada SKM dan SPM. Terlebih lagi, kata Enny, di lapangan saat ini ada SKT yang lebih tinggi dari SKM sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Oleh karena itu, peraturan itu segera diubah.

"Sekarang ini masih ada cukai rokok SKM tarifnya lebih tinggi dari SPM. Untuk SKT ada yang masih lebih tinggi dari SKM, itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Aturan itu harus diubah, bagaimana caranya SKT harus lebih rendah," ujarnya.

Enny mengungkapkan, produksi rokok, kesehatan dan pemenuhan target penerimaan negara harus berjalan seimbang. Dengan perlakuan khusus terhadap SKT dan menaikkan cukai SKM dan SPM maka akan terjadi keseimbangan antara membatasi produksi rokok untuk kesehatan serta menjaga penyerapan tenaga kerja.

"Sekarang ada perubahan tren perokok muda lebih menyukai rokok putih. Itu harus dibatasi dengan menaikkan cukai SPM dan SKM. Cukai SPM logisnya harus lebih tinggi karena menggunakan bahan dari luar," ujar Enny.

Sekretaris Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) Suhardjo, mengatakan bahwa pihaknya tidak menentang kenaikan cukai rokok, namun meminta agar pemerintah jangan mengorbankan produsen kecil menengah dengan menyamaratakan tarif cukai SKT, Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan SPM (rokok putih).

"Kita tidak menentang kenaikan cukai tapi harus bicara asas keseimbangan dan keadilan untuk kelas menengah dan kecil. Kalau dipukul rata yang industri besar akan menang karena memiliki kemampuan yang lebih kuat," katanya.

Suhardjo mengatakan, tingginya cukai rokok bagi SKT akan menjadi beban yang sangat berat bagi produsen-produsen SKT yang umumnya mengelola pabrik-pabrik dengan skala kecil dan menengah. Sebagai langkah solutif, pihaknya, kata Suhardjo, sudah mengusulkan ke badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu agar menata kembali tarif berdasarkan asas keseimbangan dan keadilan.

Jika situasi ini terus dibiarkan, Suhardjo khawatir peningkatan angka pengangguran di daerah-derah akan semakin tinggi. Ia mencontohkan, produsen rokok sebesar PT Sampoerna saja menutup dua pabriknya di Jawa Timur.

Bahkan PT Bentoel juga melakukan langkah yang sama dengan merumahkan 7.000 orang karyawannya. Disamping itu, eksistensi rokok ilegal, menurutnya, juga akan semakin menjamur. Rokok ilegal pasti semakin menjamur karena enggan membayar cukai tinggi," kata Suhardjo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement