REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat energi Komaidi Notonegoro menilai keberadaan lembaga semacam Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) masih diperlukan dalam sistem kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC).
"Fungsi dan kedudukan lembaga seperti SKK Migas diperlukan dalam sistem PSC," katanya di Jakarta, Selasa (9/9)
Menurut dia, lembaga sejenis SKK Migas sudah ada sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.
Ketika itu lembaga pengawas dan pengendali berbentuk unit tersendiri di dalam internal Pertamina. “Yang perlu mendapat perhatian, bagaimana bentuk lembaga pengawas industri hulu migas tersebut diformulasikan agar sesuai konstitusi dan lebih efektif,” katanya.
Kepala Subbagian Komunikasi dan Protokol SKK Migas Zudaldi Rafdi mengatakan, SKK Migas diperlukan untuk mengawasi kerja dan kegiatan yang dilakukan oleh kontraktor hulu migas dalam mengeksplorasi dan memproduksi minyak mentah dan gas alam.
"Ibarat kontraktor itu sebagai penggarap sawah, mereka perlu pengawas karena hasil berasnya dibutuhkan untuk pangan masyarakat," katanya.
Menurut dia, satu hambatan dari kontraktor migas dalam menemukan cadangan migas saat ini adalah banyaknya ijin yang perlu diselesaikan sebelum bisa melakukan kegiatan eksplorasi.
Kalau dulu bisa dilakukan dengan cepat karena perijinan dilakukan di pusat, sedangkan sejak otonomi daerah, perijinan ditangani daerah, jumlahnya menjadi jauh lebih banyak dan jenisnya beragam.
Dalam visi, misi dan program aksi Joko Widodo-Jusuf Kalla yang diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), disebutkan bahwa pasangan presiden dan wakil presiden terpilih tersebut berkomitmen menyusun tata kelola migas yang efektif dan efisien untuk membangun industri migas nasional yang berorientasi pada kedaulatan energi.