REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rokok menjadi salah satu penyebab pendapatan cukai tak sesuai target. Hingga Juli lalu, penerimaan bea cukai baru mencapai 57,6 persen, lebih rendah dari target awal yang minimal 58.8 persen.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Agung Kuswandono mengatakan penerimaaan cukai mayoritas didapat dari hasil tembakau. Penerimaan cukai lain didapat dari alkohol.
"Tarif cukai tahun ini tidak naik, jadi penerimaan tidak bisa lebih tinggi," katanya di hadapan Badan Anggaran DPR RI, Rabu (3/9).
Agung menambahkan, produksi batangan rokok tahun ini juga menurun. Pencantuman stiker seram pada bungkus rokok dikatakan menjadi salah satu penyebab penurunan produksi.
Pada tahun 2013, produksi rokok mencapai 314 miliar batang. Kemudian pada tahun 2014 produksi ditargetkan mencapai 380 milyar batang. Namun hingga akhir tahun 2014 produksi rokok diperkirakan hanya sekitar 353 miliar batang.
"Ini positif atau negatif tergantung siapa yang melehat. Kalau dari sisi kesehatan, tentu bagus," kata Agus.
Pada tahun 2015, produksi rokok diproyeksikan sebanyak 359 miliar batang. Namun target ini dikatakan bisa menurun melihat semakin banyak peraturan yang membatasi para perokok.
"Harus diperhitungkan isu kesehatan yang saat ini ada. Seperti gambar-gambara peringatan dalam kemasan rokok, larangan merokok di tempat tententu dan lainn. Ini pasti akan ada efeknya," kata Agung.
Rokok termasuk barang kena cukai yang mempunyai sifat dan karakteristik tertentu, sehingga konsumsi, peredaran, dan pemakaiannya diatur dalam Undang-undang Cukai. Hasil tembakau yang dikenakan cukai antara lain sigaret, cerutu, rokok daun dan tembakau iris.